Head

Jumat, 23 Juli 2021

Kini

 

Mentari sore itu seolah-olah sedang mengemasi apa saja yang mampu dijangkau oleh cahayanya. Ia sudah siap untuk menyelinap diam-diam ke balik cakrawala agar tidak berpapasan dengan rembulan. Pepohonan, jalan raya, pedagang asongan, pengamen cilik, kendaraan yang saling menderu riuh-rendah menyemarakkan kemacetan di Jakarta, dan gedung-gedung perkantoran tidak luput dari sapuan cahaya keemasannya. Tidak terkecuali sebuah kafe kecil di suatu sudut Darmawangsa, Jakarta Selatan, tempat aku menghabiskan hari-hariku.

Kafe kecil itu memiliki kesan tersendiri bagiku. Di sana aku selalu merasa hiruk-pikuk yang ada di kepalaku tertinggal di pintu masuk, dekat keset cokelat besar bertuliskan selamat datang. Setiap kali aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam kafe itu, aku seolah-olah memasuki dunia yang berbeda. Sebuah dunia di mana aku bisa merasakan sebuah kesendirian di tengah keramaian. Tidak ada pikiran-pikiran yang mengganjal di benakku, tidak pula dengan segala rencana pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh otakku. Hanya aku dan diriku. Namun, tidak dengan hari ini.

Aku menghampiri sebuah meja kayu dengan dua buah sofa kecil yang saling berhadapan. Lalu aku meletakkan tasku di meja kemudian menghempaskan diriku ke pelukan sofa kecil yang nyaman itu. Sebuah sudut favoritku; bagian kanan bersisian dengan jendela yang menghadap ke jalan raya, bagian belakang bersisian dengan dinding, dan aku juga bisa melihat siapa saja yang keluar-masuk kafe ini dengan mudah. Lagu-lagu slow rock terdengar sayup-sayup dari pengeras suara yang terpasang di beberapa sudut kafe, salah satunya di dinding dekat sofaku. Tidak lama kemudian, seorang pramusaji menghampiriku dari sebelah kiri sambil membawa sebuah buku menu.

“Selamat sore, emm... mau pesan apa hari ini... pak?” kata pramusaji itu sedikit gugup tetapi berusaha ramah. Sepertinya hari ini adalah hari besar pertamanya, karena kulihat ada tulisan ‘TRAINEE’ di kertas nama yang dikaitkan di saku bajunya. Kurasa, jika aku pesan minuman yang biasa aku pesan, ia akan kesulitan untuk mengingatnya.

“Saya mau iced green tea latte, gulanya sedikit saja, ya. Lalu saya mau kentang goreng, dan sandwich tuna”, kataku sambil merapikan posisi dudukku.

Green tea latte... iced, ya? Lalu french fries, dan sandwich tuna”, sahut pramusaji itu sambil menyelesaikan tulisan di sebuah buku kecil di tangan kirinya. Ia tampak berusaha keras untuk menulis segala detail pesanan yang ia terima, alisnya pun kini berkerut, wajahnya menegang. “Ada lagi, pak?”

“Nanti kalau ada lagi, menyusul, ya”, kataku sambil mengeluarkan sebungkus rokok dan korek dari dalam saku jaketku.

“Baik, pesanannya ditunggu sepuluh menit, ya pak.” Pramusaji itu kemudian mengambilkanku sebuah asbak putih dari balik meja karyawan, lalu pergi untuk menyelesaikan pesananku. Aku menyalakan sebatang rokok lalu menyandarkan diri kembali ke sofa. Asap putih tipis membumbung ke udara kemudian tertiup angin keluar melalui jendela. Inilah yang membuatku senang duduk di sudut ini. Namun, aku seakan tidak memiliki firasat bahwa sepuluh menit ini akan menjadi sepuluh menit yang paling penting dalam hidupku.

Aku mengeluarkan sebuah novel dari dalam tasku, lalu aku meletakkan tasku di sofa kosong di hadapanku. Pertemuanku dengan novel ini bisa dikatakan terjadi secara tidak sengaja. Saat itu aku sedang mencari buku tentang Jalan Raya Pos yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer di sebuah toko buku. Aku seharusnya mencari di rak buku tentang sejarah, tetapi tanpa sadar aku melangkahkan kakiku hingga aku tiba di rak buku tentang misteri. Ketika aku tersadar bahwa aku mencari di rak yang salah, mataku tertuju pada sebuah buku bersampul hitam berjudul ‘The Book With No Name’ yang ditulis dengan tinta berwarna merah. Rasa penasaranku langsung tergelitik, dan tanpa pikir panjang, aku langsung membelinya.

Kini, buku itu sudah kulahap hampir setengahnya. Kubuka buku itu di bagian yang sudah kutandai, kemudian aku terhanyut ke dalam cerita dalam buku itu. Lima menit telah berlalu seakan-akan hanya terjadi dalam satu kedipan mata. Tanpa sadar rokok yang sedari tadi aku hisap kini sudah menjadi puntung di asbak. Aku kembali menyalakan sebatang rokok untuk menemani waktuku berkencan dengan novel itu sembari menunggu pesananku tiba. Baru satu kali aku menghisap rokokku, tiba-tiba aku menangkap dari sudut mataku sesosok perempuan memasuki kafe ini. Sosok perempuan itu sangat tidak asing bagiku, meskipun kini tampilannya sudah berbeda sekali. Pandanganku langsung tertuju pada sosok perempuan itu, dan aku menatapnya lekat-lekat. Waktu terasa seolah-olah berhenti, nafasku terasa sesak. Ada sebuah perasaan aneh yang menjalar dari ujung kaki ke ujung kepalaku. Segala kenangan tentang perempuan itu seakan diputar kembali dalam benakku.

Dulu, kami pernah pergi ke sebuah toko buku untuk sekadar membaca novel fiksi. Saat itu aku sedang suntuk di kampus dan tidak bisa berbuat banyak karena sudah akhir bulan dan uang bulanan belum dikirim oleh orang tua. Tiba-tiba ia minta diantarkan ke toko buku. Akhirnya aku mengiakan dan kami pergi dengan berjalan kaki ke toko buku itu. Di sana, kami mencari novel-novel yang sudah terbuka segelnya, entah oleh siapa, dan membacanya.  Ia menyandarkan kepalanya ke bahuku, kemudian kami terhanyut oleh cerita di dalam novel yang kami baca, hingga tanpa terasa hari sudah gelap dan kami memutuskan untuk pulang setelah satpam yang sedari tadi memerhatikan kami akhirnya jengkel dan mengusir kami. Kini, ia terlihat necis dengan blazer yang tampak mahal. Sudah pasti ia bisa membeli dan membaca buku apapun yang ia suka.

Pernah juga pada saat itu kami berdua makan hanya satu kali tiap hari, dan itu pun terpaksa berhutang kepada ibu kantin di kampus. Kami adalah mahasiswa rantau yang harus berjuang bukan hanya soal akademis, tetapi juga soal perut. Sebenarnya agak berlebihan jika dikatakan sebagai mahasiswa perantau, sebab ia tinggal di Mampang sedangkan aku di Bekasi, dan kampus kami ada di Depok. Hanya saja, kami seperti mendramatisir keadaan dengan memilih untuk menetap di rumah kos masing-masing selama masih kuliah. Akhirnya, kami berdua terlihat kurus dan tampak seperti orang yang kurang sehat. Kini, pipinya tidak lagi terlihat tirus, dan badannya tampak lebih berisi. Sepertinya ia sudah bisa merawat dirinya dengan baik.

Kami pernah mengikat hubungan kami dengan sepasang cincin yang tersemat di jari manis kami. Sudah empat tahun usia hubungan kami saat itu, dan aku memutuskan untuk merencanakan langkah berikutnya. Aku menabung sekuat tenaga selama sekitar satu tahun hingga akhirnya aku mengajaknya ke Blok M untuk membeli sepasang cincin dari perak. Satu aku pasangkan di jari manisnya, satunya lagi ia pasangkan di jari manisku. Setelahnya, kami merencanakan dengan matang apa-apa saja yang diperlukan untuk hubungan yang lebih serius. Namun, semesta seakan memiliki rencana lain untuk kami. Aku melakukan sebuah kesalahan yang membuat ia memutuskan untuk menyudahi hubungan kami. Saat itu, ia berkata bahwa ia akan kembali jika aku mampu mengubah perilakuku ke arah yang lebih baik. Kini, ia hanya berjarak beberapa langkah dariku. Jika semesta mengatur setiap perpisahan, tentu ia juga mengatur setiap pertemuan kembali. Aku mencoba mengumpulkan keberanianku dan menghentikan kenangan-kenangan yang terus diputar ulang dalam benakku. Keringat dingin mendadak muncul di keningku ketika pandangan kami bertemu setelah sekian lama. Matanya yang agak sayu menatap ke arahku, seolah-olah memberikan angin sejuk yang menghadirkan ketenangan. Hanya itu yang tidak berubah hingga kini. Sayup-sayup terdengar lagu Firehouse yang berjudul ‘When I Look Into Your Eyes’ dari pengeras suara. Aku pun memantapkan hati dan memutuskan untuk menghampirinya.

“Rara? Apa kabar?” kataku sedikit gugup. Tanganku kini terasa sangat dingin.

“Angga! Ya ampun, kirain siapa. Baik, baik... Alhamdulillah. Lu sendiri gimana kabarnya?” Rara memasukkan tangan kirinya ke dalam saku blazernya, kemudian ia tersenyum manis kepadaku.

“Alhamdulillah, gue juga baik-baik aja nih. Udah rada gendutan juga.”

“Bisa aja lu!” ujar Rara sambil menepuk lengan kiriku dengan tangan kanannya, lalu ia tertawa kecil. “Lagi ngapain lu di sini, Ngga?”

“Oh, ini... Gue lagi nyantai aja. Baca buku sambil nunggu pesenan gue dateng. Yuk, barengan aja sini.” Aku mulai mencoba untuk mencairkan suasana.

“Eh, gausah, gapapa kok. Gue cuma mau ambil pesenan aja sebentar. Suami gue nungguin tuh di mobil.”

“Oh... Iya...” jawabku kikuk. Tiba-tiba aku seperti diselimuti oleh kehampaan yang pekat. Hanya senyum terpaksa yang tampak pada wajahku.

“Angga, gue duluan ya. Dadah!” Rara terlihat mengambil bungkusan makanan yang diberikan oleh pramusaji, kemudian ia bergegas meninggalkan diriku yang kini menatap kosong ke arah punggungnya yang kian menjauh. Tanpa sadar, lagu yang terdengar dari pengeras suara sudah berganti menjadi lagu ‘She’s Gone’ yang dinyanyikan oleh Steelheart.

“Semesta kadang-kadang lucu, ya”, batinku, seraya kembali ke mejaku. Kembali ke kesendirianku.