Setelah
pernikahannya dengan Rama, Shinta pindah ke Ayodhya, Ibukota Kerajaan Kosala
bersama suaminya. Ayodhya adalah kota besar yang memiliki istana megah berwarna
putih, dengan pilar-pilar yang menjulang di setiap sisi, taman-taman dan kolam
air mancur menghiasi hampir di setiap sudut istana, dan pepohonan serta kebun
bunga yang ditata begitu indah. Bahkan, jalan yang menuju pintu utama istana
dilapisi marmer yang mengilap, sehingga siapapun yang berjalan di sana akan
merasa seolah-olah sedang berjalan di atas kaca. Meskipun Ayodhya adalah sebuah kota yang maju
dan dipimpin oleh suaminya sendiri, Shinta melihatnya hanya sebagai kota besar
pada umumnya. Orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada pedagang
yang menjajakan porselen di tokonya, kereta kuda yang tak pernah berhenti
hilir-mudik membawa padi, sayuran, dan hasil panen lainnya, dan pandai besi
yang sedang menempa senjata di dalam bengkel kerjanya. Meskipun demikian, tidak
ada hal istimewa dari Ayodhya yang mampu menarik perhatian Shinta selain Rama
seorang.
Shinta
memang telah berkomitmen untuk mencurahkan seluruh jiwa dan raganya kepada Rama
semenjak mereka menikah. Baginya, siapa pun yang berhasil meregangkan tali
busur sakti milik Dewa Siwa, layak untuk dipertahankan hingga ajal menjemput.
Tidak ada satu orang pun yang mampu memisahkan kedekatan antara Shinta dengan
Rama. Ke mana pun Rama pergi, Shinta selalu hadir menyertainya. Namun,
belakangan ini Shinta terlihat gundah gulana. Ia sering berdiam diri di dalam
kamarnya, memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong. Rama mulai sering
bepergian jauh selama berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, dan melarang Shinta untuk
ikut. Shinta mulai merasa ada sesuatu yang aneh pada diri Rama, tetapi di sisi
lain, ia tidak mau melawan perintah suami yang dicintainya. Kegundahan Shinta
memuncak ketika ia tidak diizinkan ikut berburu oleh Rama di hutan yang
jaraknya tidak begitu jauh dari perbatasan kota.
“Kakanda,
izinkanlah aku ikut berburu denganmu,” ujar Shinta sedikit memelas.
“Adindaku,
tak tahukah engkau betapa berbahayanya hutan di tepi kota sana?” jawab Rama
sedikit dingin.
“Kakanda,
tak ada satu pun tempat yang berbahaya di muka bumi ini selama ada kakanda yang
menyertaiku,” Shinta berjalan pelan menghampiri Rama.
“Aku
tahu, adinda. Tetapi kumohon mengertilah betapa aku mencintaimu sepenuh hatiku.
Aku tak mau sesuatu terjadi padamu ketika aku sedang berburu nanti,” Rama menjauh
dari Shinta dan mulai menyiapkan pakaian untuk berburu.
“Apakah
wujud cinta kakanda kepadaku adalah menjauhkan aku dari kakanda? Membiarkan
hari-hariku tertutup awan kelabu, sementara mentari mengizinkan orang-orang di
luar sana menari riang dan bernyanyi merdu?” Shinta berusaha mengendalikan nada
suaranya agar Rama tidak tersinggung atas ucapannya. Rama yang sedang
mempersiapkan pakaian berburunya pun sedikit tersentak dan menghentikan
kegiatannya. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu.
“Aku
hanya tak ingin mendampingi kakanda di saat senang saja. Maka, izinkanlah-“
“Baik.
Baiklah. Aku mengerti, adinda,” ucap Rama memotong perkataan Shinta. “Aku akan
memberikanmu satu syarat jika kau mau ikut berburu denganku,” sambung Rama
dengan nada bicara yang mulai tegas.
“Tidak
akan ada syarat yang lebih berat dari pada harus jauh darimu, kakanda.”
“Aku
akan mengajak Laksmana saat berburu nanti. Aku ingin kau selalu di dekatnya,
dan patuhi semua perintahnya.” Rama tampak sudah selesai mempersiapkan pakaian
untuk berburu, kemudian memanggil pelayan untuk segera menyiapkan tunggangan.
Perasaan
Shinta saat itu sangat senang. Senyumnya begitu lebar, dan wajahnya pun merona.
Akhirnya ia boleh ikut berburu dengan Rama meskipun harus setuju dengan sebuah
syarat. Namun, Shinta tampak tidak keberatan sama sekali dengan syarat yang
diajukan oleh Rama. Awan mendung yang menyelimuti Shinta seolah-olah sirna dan
berganti dengan pelanngi yang begitu indah.
Rombongan
Rama, Shinta dan Laksmana akhirnya tiba di bibir hutan. Rama tanpa ragu
langsung memasuki belantara itu, disusul oleh Shinta dan Laksmana. Cahaya
matahari seakan-akan meredup seiring langkah kaki mereka yang semakin dalam
memasuki hutan. Suasana di dalam hutan pun semakin sunyi dan mengerikan, hanya
terdengar gemerisik dedaunan dari puncak pepohonan yang menjulang tinggi. Tidak
ada rasa takut yang tampak dari raut wajah Shinta meskipun perjalanan semakin
jauh ke jantung hutan, karena ia merasa aman di dekat Rama.
Tiba-tiba,
Rama menghentikan langkahnya dan segera memasang sikap siaga. Shinta dan
Laksmana sontak saja mengikutinya. Shinta melihat dengan mata kepalanya
sendiri, bahwa di kejauhan ada seekor rusa berwarna emas yang berkilauan. Rusa
itu tampak sedang memakan dedaunan di sebuah bukit kecil di dalam hutan. Tanpa
aba-aba, Rama melesat ke arah rusa itu dengan kecepatan yang luar biasa.
Melihat ada ancaman yang datang, rusa itu pun melarikan diri tidak kalah
cepatnya, sehingga mereka berdua menghilang dengan sekejap di kegelapan hutan
belantara itu. Namun, tidak lama kemudian, Shinta mendengar jeritan Rama dari
kejauhan. Dari suaranya, sepertinya Rama mengalami kesakitan yang luar biasa
hebat. Pudar sudah keberanian Shinta yang sedari tadi ia tunjukkan, berganti
dengan ketakutan yang amat sangat. Tubuh Shinta kini gemetar hebat. Air mata
sudah terbendung di kedua matanya, siap untuk berderai kapan saja. Napasnya
mulai terlihat tidak teratur.
Laksmana
yang melihat kejadian itu langsung berusaha menenangkan Shinta, tetapi Shinta
sudah tidak bisa lagi membendung air matanya. Ia bersimpuh dan mulai menangis
sejadi-jadinya. Tidak pikir panjang, Laksmana merapalkan sebuah mantra kemudian
membuat lingkaran dari cahaya yang mengelilingi Shinta.
“Shinta,
apapun yang terjadi, jangan pernah keluar dari lingkaran ini!”
“Tidak,
Laksmana! Aku mau menolong Rama!” ujar Shinta sambil terisak.
“Kau
sudah sangat menolong Rama jika kau tetap berada di dalam lingkaran ini!”
Laksmana langsung melesat ke arah suara Rama meninggalkan Shinta di dalam
lingkaran cahaya. Shinta yang tak kuasa menahan tangisannya, mau tidak mau
harus menuruti perintah Laksmana, karena itu merupakan syarat yang ditetapkan
oleh Rama. Akhirnya, Shinta mampu menenangkan dirinya dan menunggu di dalam
lingkaran cahaya sambil sesekali terisak.
Tiba-tiba,
dari arah belakang, muncul seorang kakek yang berjalan terhuyung-huyung sambil
memegangi sisi kiri perutnya. Ia terluka di sekujur tubuhnya, dan ada sebuah
luka menganga di bagian yang ia pegangi. Darah segar membasahi pakaian dan
celananya. Kakek itu mengerang kesakitan dan meminta pertolongan kepada Shinta.
“Nak,
tolong aku... Aku diserang binatang buas...” Kakek itu tersungkur di dekat
lingkaran cahaya yang mengelilingi Shinta.
“Aku
bisa menyembuhkanmu, tetapi aku tidak boleh keluar dari lingkaran ini apapun
yang terjadi...”
“Kumohon,
nak... Aku sudah tidak kuat lagi...” Dengan berat hati, Shinta memutuskan untuk
melanggar syarat yang diberikan oleh Rama dan keluar dari lingkaran itu. Ia
segera merapalkan mantra penyembuhan, kemudian cahaya kehijauan keluar dari
kedua tangannya. Saat Shinta mendekatkan kedua tangannya ke tubuh kakek itu,
tiba-tiba kakek itu berubah wujud menjadi Rahwana. Betapa terkejutnya Shinta
hingga ia terduduk dan membatu. Cahaya kehijauan di kedua tangannya meredup.
Rahwana
adalah sosok raksasa berwajah sepuluh, yang dahulu juga berjuang dalam
sayembara meregangkan tali busur Dewa Siwa untuk meluluhkan hati Shinta. Namun,
ia gagal mengalahkan Rama yang bahkan mampu membuat busur itu patah menjadi dua
bagian. Kini, Rahwana berdiri tepat di hadapan Shinta, menatap kedua matanya
dalam-dalam. Hangat.
“Adinda,
maafkan aku karena membuatmu takut. Tetapi, apakah cinta dapat diukur dari
kemampuan seseorang mematahkan sebuah busur milik dewa?” Shinta bergeming, ia
masih diliputi ketakutan yang luar biasa setelah mendapati sosok yang berdiri
di hadapannya bukanlah suami yang dicintainya, melainkan sosok raksasa dengan
sepuluh wajah yang semuanya menatap dirinya dalam-dalam.
“Adinda,
aku memang memiliki sepuluh wajah, tetapi aku bisa pastikan kepadamu, bahwa
tidak akan ada satupun wajahku yang berpaling darimu. Sekarang, izinkan aku
membawamu ke istanaku di Alengka. Aku berjanji akan menjaga kesucianmu di sana.
Rusa emas yang dikejar oleh suamimu adalah jelmaan anak buahku. Jangan
khawatir, suamimu baik-baik saja” Shinta yang mendengar kata-kata itu langsung
menjerit sejadi-jadinya. “Adinda, maafkan aku.” Rahwana langsung menggendong
Shinta yang masih menjerit-jerit kemudian segera terbang keluar dari hutan.
Saat dibawa oleh Rahwana, Shinta sempat melihat Rama dan Laksmana datang dari
arah yang berbeda menuju lingkaran cahaya, tetapi terlambat. Namun, setidaknya
Shinta masih memiliki keyakinan yang besar pada Rama, bahwa ia akan dibebaskan
dari Rahwana.
***
Sudah
genap satu tahun sejak Rahwana membawa Shinta ke istananya di Alengka, tetapi
Rama tidak juga kunjung datang menyelamatkan Shinta. Shinta tidak mengira
hidupnya akan serba berkecukupan di sini, karena pada awalnya, ia berpikir akan
ditempatkan di sebuah penjara bawah tanah yang sangat sempit dan menjijikkan.
Namun, sesampainya di istana Rahwana, ia justru ditempatkan di sebuah kamar
mewah yang sangat luas. Semua kebutuhan Shinta sudah tersedia di istana ini,
bahkan, Rahwana berkata bahwa ia tidak akan pernah sekalipun menemui Shinta
kecuali pada saat makan di ruang makan. Namun, hanya satu permintaan Shinta
yang tidak pernah dipenuhi oleh Rahwana; mempertemukannya dengan Rama.
Pada
saat Shinta sedang menatap rembulan, ia dikejutkan dengan kedatangan sesosok
siluman kera dari jendela kamarnya. Siluman kera itu memperkenalkan diri
sebagai Hanoman. Awalnya Shinta merasa ketakutan melihat Hanoman dan berniat
membunuhnya dengan menghunuskan sebilah belati. Namun, Hanoman meyakinkan
Shinta bahwa dirinya adalah utusan Rama dengan menunjukkan cincin pernikahan
Rama. Shinta akhirnya meyakini bahwa Hanoman adalah utusan suaminya.
“Berikan
cincin ini pada suamiku, dan katakan padanya bahwa aku masih menunggu dia
menjemputku,” ujar Shinta sambil melepaskan cincin dari jari manisnya dan
memberikannya kepada Hanoman. Hanoman dengan sigap mengamankan cincin itu,
kemudian melesat pergi keluar dari jendela dan menghilang di kegelapan malam.
Raut
kegembiraan tidak dapat disembunyikan dari wajah Shinta. Betapa tidak, suami
yang dicintainya akan segera menjemputnya dan membebaskannya dari istana
Rahwana. Tidak ada hal yang mampu menorehkan senyum di wajah Shinta kecuali
Rama. Hal ini pun diketahui oleh Rahwana saat sedang makan bersama Shinta.
“Adinda,
apa gerangan yang membuat awan mendung menjauh dari wajahmu?”
“Tidak
ada. Aku hanya sedang senang saja,” jawab Shinta dingin.
“Terkadang,
senang dan sedih datang silih berganti. Tetapi, kesedihanmu adalah belati yang
menyayat hatiku, dan kesenanganmu adalah penawarnya, adinda.”
“Aku
sudah selesai makan. Aku akan kembali ke kamarku.” Shinta meninggalkan Rahwana
yang masih menyantap makanannya di meja makan.
Tiba-tiba,
Shinta mendengar suara gaduh dari luar istana, seperti sedang terjadi
peperangan. Ia lalu segera menuju jendela untuk melihat keadaan di luar, dan
mendapati Hanoman sedang memimpin puluhan ribu pasukan kera yang menyerang ke
dalam istana. Rahwana dengan sigap mengamankan Shinta ke dalam kamarnya. Ketika
Rahwana hendak mengunci kamar Shinta, dari luar terdengar suara lantang yang
sangat dinantikan oleh Shinta. Suara yang selalu menenangkan jiwa dan raganya.
Suara yang selalu mampu mengusir rasa sedih dan duka yang Shinta alami..
“RAHWANA!
KAU AKAN MENEMUI AJALMU HARI INI!” Rama berteriak dengan lantang, kemudian
terdengar suara pertarungan yang dahsyat dari luar kamar. Suara pedang yang
beradu, teriakan-teriakan yang memilukan, dan dentuman yang sangat keras bahkan
sampai menggetarkan dinding kamar Shinta, membuat perasaan Shinta semakin berkecamuk.
Ia menantikan dengan cemas siapa yang pada akhirnya akan membuka pintu kamarnya.
Pertarungan di luar kamar berlangsung cukup lama, bahkan hingga pertempuran di
halaman istana sudah usai yang menyisakan puluhan ribu mayat, baik pasukan kera
maupun pasukan Rahwana.
Tidak
lama kemudian, suasana berubah menjadi hening. Pertarungan di luar kamar Shinta
sudah selesai, dan hanya menyisakan bau anyir yang menyeruak ke udara dari
darah para prajurit yang tumpah di istana Rahwana. Jantung Shinta berdegup
kencang menantikan pintu kamarnya terbuka. Ia hampir tidak sanggup bernapas.
Akhirnya pintu kayu yang besar itu terbuka. Shinta langsung bergegas mendekati
pintu yang sedang terbuka itu. Terlihat sosok yang sudah tidak asing baginya.
Tanpa sadar, air mata mengalir deras dari kedua matanya.
“Sudah
tidak ada lagi yang tersisa. Mari, hamba antarkan pulang ke Ayodhya,” ujar
Hanoman dengan tubuh bersimbah darah.
Ditulis oleh