Head

Kamis, 17 Juni 2021

Shinta dan Pilihannya

 

Setelah pernikahannya dengan Rama, Shinta pindah ke Ayodhya, Ibukota Kerajaan Kosala bersama suaminya. Ayodhya adalah kota besar yang memiliki istana megah berwarna putih, dengan pilar-pilar yang menjulang di setiap sisi, taman-taman dan kolam air mancur menghiasi hampir di setiap sudut istana, dan pepohonan serta kebun bunga yang ditata begitu indah. Bahkan, jalan yang menuju pintu utama istana dilapisi marmer yang mengilap, sehingga siapapun yang berjalan di sana akan merasa seolah-olah sedang berjalan di atas kaca.  Meskipun Ayodhya adalah sebuah kota yang maju dan dipimpin oleh suaminya sendiri, Shinta melihatnya hanya sebagai kota besar pada umumnya. Orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada pedagang yang menjajakan porselen di tokonya, kereta kuda yang tak pernah berhenti hilir-mudik membawa padi, sayuran, dan hasil panen lainnya, dan pandai besi yang sedang menempa senjata di dalam bengkel kerjanya. Meskipun demikian, tidak ada hal istimewa dari Ayodhya yang mampu menarik perhatian Shinta selain Rama seorang.

Shinta memang telah berkomitmen untuk mencurahkan seluruh jiwa dan raganya kepada Rama semenjak mereka menikah. Baginya, siapa pun yang berhasil meregangkan tali busur sakti milik Dewa Siwa, layak untuk dipertahankan hingga ajal menjemput. Tidak ada satu orang pun yang mampu memisahkan kedekatan antara Shinta dengan Rama. Ke mana pun Rama pergi, Shinta selalu hadir menyertainya. Namun, belakangan ini Shinta terlihat gundah gulana. Ia sering berdiam diri di dalam kamarnya, memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong. Rama mulai sering bepergian jauh selama berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, dan melarang Shinta untuk ikut. Shinta mulai merasa ada sesuatu yang aneh pada diri Rama, tetapi di sisi lain, ia tidak mau melawan perintah suami yang dicintainya. Kegundahan Shinta memuncak ketika ia tidak diizinkan ikut berburu oleh Rama di hutan yang jaraknya tidak begitu jauh dari perbatasan kota.

“Kakanda, izinkanlah aku ikut berburu denganmu,” ujar Shinta sedikit memelas.

“Adindaku, tak tahukah engkau betapa berbahayanya hutan di tepi kota sana?” jawab Rama sedikit dingin.

“Kakanda, tak ada satu pun tempat yang berbahaya di muka bumi ini selama ada kakanda yang menyertaiku,” Shinta berjalan pelan menghampiri Rama.

“Aku tahu, adinda. Tetapi kumohon mengertilah betapa aku mencintaimu sepenuh hatiku. Aku tak mau sesuatu terjadi padamu ketika aku sedang berburu nanti,” Rama menjauh dari Shinta dan mulai menyiapkan pakaian untuk berburu.

“Apakah wujud cinta kakanda kepadaku adalah menjauhkan aku dari kakanda? Membiarkan hari-hariku tertutup awan kelabu, sementara mentari mengizinkan orang-orang di luar sana menari riang dan bernyanyi merdu?” Shinta berusaha mengendalikan nada suaranya agar Rama tidak tersinggung atas ucapannya. Rama yang sedang mempersiapkan pakaian berburunya pun sedikit tersentak dan menghentikan kegiatannya. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu.

“Aku hanya tak ingin mendampingi kakanda di saat senang saja. Maka, izinkanlah-“

“Baik. Baiklah. Aku mengerti, adinda,” ucap Rama memotong perkataan Shinta. “Aku akan memberikanmu satu syarat jika kau mau ikut berburu denganku,” sambung Rama dengan nada bicara yang mulai tegas.

“Tidak akan ada syarat yang lebih berat dari pada harus jauh darimu, kakanda.”

“Aku akan mengajak Laksmana saat berburu nanti. Aku ingin kau selalu di dekatnya, dan patuhi semua perintahnya.” Rama tampak sudah selesai mempersiapkan pakaian untuk berburu, kemudian memanggil pelayan untuk segera menyiapkan tunggangan.

Perasaan Shinta saat itu sangat senang. Senyumnya begitu lebar, dan wajahnya pun merona. Akhirnya ia boleh ikut berburu dengan Rama meskipun harus setuju dengan sebuah syarat. Namun, Shinta tampak tidak keberatan sama sekali dengan syarat yang diajukan oleh Rama. Awan mendung yang menyelimuti Shinta seolah-olah sirna dan berganti dengan pelanngi yang begitu indah.

Rombongan Rama, Shinta dan Laksmana akhirnya tiba di bibir hutan. Rama tanpa ragu langsung memasuki belantara itu, disusul oleh Shinta dan Laksmana. Cahaya matahari seakan-akan meredup seiring langkah kaki mereka yang semakin dalam memasuki hutan. Suasana di dalam hutan pun semakin sunyi dan mengerikan, hanya terdengar gemerisik dedaunan dari puncak pepohonan yang menjulang tinggi. Tidak ada rasa takut yang tampak dari raut wajah Shinta meskipun perjalanan semakin jauh ke jantung hutan, karena ia merasa aman di dekat Rama.

Tiba-tiba, Rama menghentikan langkahnya dan segera memasang sikap siaga. Shinta dan Laksmana sontak saja mengikutinya. Shinta melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa di kejauhan ada seekor rusa berwarna emas yang berkilauan. Rusa itu tampak sedang memakan dedaunan di sebuah bukit kecil di dalam hutan. Tanpa aba-aba, Rama melesat ke arah rusa itu dengan kecepatan yang luar biasa. Melihat ada ancaman yang datang, rusa itu pun melarikan diri tidak kalah cepatnya, sehingga mereka berdua menghilang dengan sekejap di kegelapan hutan belantara itu. Namun, tidak lama kemudian, Shinta mendengar jeritan Rama dari kejauhan. Dari suaranya, sepertinya Rama mengalami kesakitan yang luar biasa hebat. Pudar sudah keberanian Shinta yang sedari tadi ia tunjukkan, berganti dengan ketakutan yang amat sangat. Tubuh Shinta kini gemetar hebat. Air mata sudah terbendung di kedua matanya, siap untuk berderai kapan saja. Napasnya mulai terlihat tidak teratur.

Laksmana yang melihat kejadian itu langsung berusaha menenangkan Shinta, tetapi Shinta sudah tidak bisa lagi membendung air matanya. Ia bersimpuh dan mulai menangis sejadi-jadinya. Tidak pikir panjang, Laksmana merapalkan sebuah mantra kemudian membuat lingkaran dari cahaya yang mengelilingi Shinta.

“Shinta, apapun yang terjadi, jangan pernah keluar dari lingkaran ini!”

“Tidak, Laksmana! Aku mau menolong Rama!” ujar Shinta sambil terisak.

“Kau sudah sangat menolong Rama jika kau tetap berada di dalam lingkaran ini!” Laksmana langsung melesat ke arah suara Rama meninggalkan Shinta di dalam lingkaran cahaya. Shinta yang tak kuasa menahan tangisannya, mau tidak mau harus menuruti perintah Laksmana, karena itu merupakan syarat yang ditetapkan oleh Rama. Akhirnya, Shinta mampu menenangkan dirinya dan menunggu di dalam lingkaran cahaya sambil sesekali terisak.

Tiba-tiba, dari arah belakang, muncul seorang kakek yang berjalan terhuyung-huyung sambil memegangi sisi kiri perutnya. Ia terluka di sekujur tubuhnya, dan ada sebuah luka menganga di bagian yang ia pegangi. Darah segar membasahi pakaian dan celananya. Kakek itu mengerang kesakitan dan meminta pertolongan kepada Shinta.

“Nak, tolong aku... Aku diserang binatang buas...” Kakek itu tersungkur di dekat lingkaran cahaya yang mengelilingi Shinta.

“Aku bisa menyembuhkanmu, tetapi aku tidak boleh keluar dari lingkaran ini apapun yang terjadi...”

“Kumohon, nak... Aku sudah tidak kuat lagi...” Dengan berat hati, Shinta memutuskan untuk melanggar syarat yang diberikan oleh Rama dan keluar dari lingkaran itu. Ia segera merapalkan mantra penyembuhan, kemudian cahaya kehijauan keluar dari kedua tangannya. Saat Shinta mendekatkan kedua tangannya ke tubuh kakek itu, tiba-tiba kakek itu berubah wujud menjadi Rahwana. Betapa terkejutnya Shinta hingga ia terduduk dan membatu. Cahaya kehijauan di kedua tangannya meredup.

Rahwana adalah sosok raksasa berwajah sepuluh, yang dahulu juga berjuang dalam sayembara meregangkan tali busur Dewa Siwa untuk meluluhkan hati Shinta. Namun, ia gagal mengalahkan Rama yang bahkan mampu membuat busur itu patah menjadi dua bagian. Kini, Rahwana berdiri tepat di hadapan Shinta, menatap kedua matanya dalam-dalam. Hangat.

“Adinda, maafkan aku karena membuatmu takut. Tetapi, apakah cinta dapat diukur dari kemampuan seseorang mematahkan sebuah busur milik dewa?” Shinta bergeming, ia masih diliputi ketakutan yang luar biasa setelah mendapati sosok yang berdiri di hadapannya bukanlah suami yang dicintainya, melainkan sosok raksasa dengan sepuluh wajah yang semuanya menatap dirinya dalam-dalam.

“Adinda, aku memang memiliki sepuluh wajah, tetapi aku bisa pastikan kepadamu, bahwa tidak akan ada satupun wajahku yang berpaling darimu. Sekarang, izinkan aku membawamu ke istanaku di Alengka. Aku berjanji akan menjaga kesucianmu di sana. Rusa emas yang dikejar oleh suamimu adalah jelmaan anak buahku. Jangan khawatir, suamimu baik-baik saja” Shinta yang mendengar kata-kata itu langsung menjerit sejadi-jadinya. “Adinda, maafkan aku.” Rahwana langsung menggendong Shinta yang masih menjerit-jerit kemudian segera terbang keluar dari hutan. Saat dibawa oleh Rahwana, Shinta sempat melihat Rama dan Laksmana datang dari arah yang berbeda menuju lingkaran cahaya, tetapi terlambat. Namun, setidaknya Shinta masih memiliki keyakinan yang besar pada Rama, bahwa ia akan dibebaskan dari Rahwana.

 

***

 

Sudah genap satu tahun sejak Rahwana membawa Shinta ke istananya di Alengka, tetapi Rama tidak juga kunjung datang menyelamatkan Shinta. Shinta tidak mengira hidupnya akan serba berkecukupan di sini, karena pada awalnya, ia berpikir akan ditempatkan di sebuah penjara bawah tanah yang sangat sempit dan menjijikkan. Namun, sesampainya di istana Rahwana, ia justru ditempatkan di sebuah kamar mewah yang sangat luas. Semua kebutuhan Shinta sudah tersedia di istana ini, bahkan, Rahwana berkata bahwa ia tidak akan pernah sekalipun menemui Shinta kecuali pada saat makan di ruang makan. Namun, hanya satu permintaan Shinta yang tidak pernah dipenuhi oleh Rahwana; mempertemukannya dengan Rama.

Pada saat Shinta sedang menatap rembulan, ia dikejutkan dengan kedatangan sesosok siluman kera dari jendela kamarnya. Siluman kera itu memperkenalkan diri sebagai Hanoman. Awalnya Shinta merasa ketakutan melihat Hanoman dan berniat membunuhnya dengan menghunuskan sebilah belati. Namun, Hanoman meyakinkan Shinta bahwa dirinya adalah utusan Rama dengan menunjukkan cincin pernikahan Rama. Shinta akhirnya meyakini bahwa Hanoman adalah utusan suaminya.

“Berikan cincin ini pada suamiku, dan katakan padanya bahwa aku masih menunggu dia menjemputku,” ujar Shinta sambil melepaskan cincin dari jari manisnya dan memberikannya kepada Hanoman. Hanoman dengan sigap mengamankan cincin itu, kemudian melesat pergi keluar dari jendela dan menghilang di kegelapan malam.

Raut kegembiraan tidak dapat disembunyikan dari wajah Shinta. Betapa tidak, suami yang dicintainya akan segera menjemputnya dan membebaskannya dari istana Rahwana. Tidak ada hal yang mampu menorehkan senyum di wajah Shinta kecuali Rama. Hal ini pun diketahui oleh Rahwana saat sedang makan bersama Shinta.

“Adinda, apa gerangan yang membuat awan mendung menjauh dari wajahmu?”

“Tidak ada. Aku hanya sedang senang saja,” jawab Shinta dingin.

“Terkadang, senang dan sedih datang silih berganti. Tetapi, kesedihanmu adalah belati yang menyayat hatiku, dan kesenanganmu adalah penawarnya, adinda.”

“Aku sudah selesai makan. Aku akan kembali ke kamarku.” Shinta meninggalkan Rahwana yang masih menyantap makanannya di meja makan.

Tiba-tiba, Shinta mendengar suara gaduh dari luar istana, seperti sedang terjadi peperangan. Ia lalu segera menuju jendela untuk melihat keadaan di luar, dan mendapati Hanoman sedang memimpin puluhan ribu pasukan kera yang menyerang ke dalam istana. Rahwana dengan sigap mengamankan Shinta ke dalam kamarnya. Ketika Rahwana hendak mengunci kamar Shinta, dari luar terdengar suara lantang yang sangat dinantikan oleh Shinta. Suara yang selalu menenangkan jiwa dan raganya. Suara yang selalu mampu mengusir rasa sedih dan duka yang Shinta alami..

“RAHWANA! KAU AKAN MENEMUI AJALMU HARI INI!” Rama berteriak dengan lantang, kemudian terdengar suara pertarungan yang dahsyat dari luar kamar. Suara pedang yang beradu, teriakan-teriakan yang memilukan, dan dentuman yang sangat keras bahkan sampai menggetarkan dinding kamar Shinta, membuat perasaan Shinta semakin berkecamuk. Ia menantikan dengan cemas siapa yang pada akhirnya akan membuka pintu kamarnya. Pertarungan di luar kamar berlangsung cukup lama, bahkan hingga pertempuran di halaman istana sudah usai yang menyisakan puluhan ribu mayat, baik pasukan kera maupun pasukan Rahwana.

Tidak lama kemudian, suasana berubah menjadi hening. Pertarungan di luar kamar Shinta sudah selesai, dan hanya menyisakan bau anyir yang menyeruak ke udara dari darah para prajurit yang tumpah di istana Rahwana. Jantung Shinta berdegup kencang menantikan pintu kamarnya terbuka. Ia hampir tidak sanggup bernapas. Akhirnya pintu kayu yang besar itu terbuka. Shinta langsung bergegas mendekati pintu yang sedang terbuka itu. Terlihat sosok yang sudah tidak asing baginya. Tanpa sadar, air mata mengalir deras dari kedua matanya.

“Sudah tidak ada lagi yang tersisa. Mari, hamba antarkan pulang ke Ayodhya,” ujar Hanoman dengan tubuh bersimbah darah.


Ditulis oleh

Angga Hardy