Mentari
sore itu seolah-olah sedang mengemasi apa saja yang mampu dijangkau oleh
cahayanya. Ia sudah siap untuk menyelinap diam-diam ke balik cakrawala agar
tidak berpapasan dengan rembulan. Pepohonan, jalan raya, pedagang asongan,
pengamen cilik, kendaraan yang saling menderu riuh-rendah menyemarakkan
kemacetan di Jakarta, dan gedung-gedung perkantoran tidak luput dari sapuan
cahaya keemasannya. Tidak terkecuali sebuah kafe kecil di suatu sudut
Darmawangsa, Jakarta Selatan, tempat aku menghabiskan hari-hariku.
Kafe
kecil itu memiliki kesan tersendiri bagiku. Di sana aku selalu merasa
hiruk-pikuk yang ada di kepalaku tertinggal di pintu masuk, dekat keset cokelat
besar bertuliskan selamat datang. Setiap kali aku melangkahkan kakiku masuk ke
dalam kafe itu, aku seolah-olah memasuki dunia yang berbeda. Sebuah dunia di
mana aku bisa merasakan sebuah kesendirian di tengah keramaian. Tidak ada
pikiran-pikiran yang mengganjal di benakku, tidak pula dengan segala rencana
pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh otakku. Hanya aku dan diriku. Namun, tidak
dengan hari ini.
Aku
menghampiri sebuah meja kayu dengan dua buah sofa kecil yang saling berhadapan.
Lalu aku meletakkan tasku di meja kemudian menghempaskan diriku ke pelukan sofa
kecil yang nyaman itu. Sebuah sudut favoritku; bagian kanan bersisian dengan
jendela yang menghadap ke jalan raya, bagian belakang bersisian dengan dinding,
dan aku juga bisa melihat siapa saja yang keluar-masuk kafe ini dengan mudah.
Lagu-lagu slow rock terdengar
sayup-sayup dari pengeras suara yang terpasang di beberapa sudut kafe, salah
satunya di dinding dekat sofaku. Tidak lama kemudian, seorang pramusaji
menghampiriku dari sebelah kiri sambil membawa sebuah buku menu.
“Selamat
sore, emm... mau pesan apa hari ini... pak?” kata pramusaji itu sedikit gugup
tetapi berusaha ramah. Sepertinya hari ini adalah hari besar pertamanya, karena
kulihat ada tulisan ‘TRAINEE’ di kertas nama yang dikaitkan di saku bajunya.
Kurasa, jika aku pesan minuman yang biasa aku pesan, ia akan kesulitan untuk
mengingatnya.
“Saya
mau iced green tea latte, gulanya
sedikit saja, ya. Lalu saya mau kentang goreng, dan sandwich tuna”, kataku sambil merapikan posisi dudukku.
“Green tea latte... iced, ya? Lalu french fries, dan sandwich tuna”, sahut pramusaji itu sambil menyelesaikan tulisan di
sebuah buku kecil di tangan kirinya. Ia tampak berusaha keras untuk menulis
segala detail pesanan yang ia terima, alisnya pun kini berkerut, wajahnya
menegang. “Ada lagi, pak?”
“Nanti
kalau ada lagi, menyusul, ya”, kataku sambil mengeluarkan sebungkus rokok dan
korek dari dalam saku jaketku.
“Baik,
pesanannya ditunggu sepuluh menit, ya pak.” Pramusaji itu kemudian
mengambilkanku sebuah asbak putih dari balik meja karyawan, lalu pergi untuk
menyelesaikan pesananku. Aku menyalakan sebatang rokok lalu menyandarkan diri
kembali ke sofa. Asap putih tipis membumbung ke udara kemudian tertiup angin
keluar melalui jendela. Inilah yang membuatku senang duduk di sudut ini. Namun,
aku seakan tidak memiliki firasat bahwa sepuluh menit ini akan menjadi sepuluh
menit yang paling penting dalam hidupku.
Aku
mengeluarkan sebuah novel dari dalam tasku, lalu aku meletakkan tasku di sofa
kosong di hadapanku. Pertemuanku dengan novel ini bisa dikatakan terjadi secara
tidak sengaja. Saat itu aku sedang mencari buku tentang Jalan Raya Pos yang
ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer di sebuah toko buku. Aku seharusnya mencari
di rak buku tentang sejarah, tetapi tanpa sadar aku melangkahkan kakiku hingga
aku tiba di rak buku tentang misteri. Ketika aku tersadar bahwa aku mencari di
rak yang salah, mataku tertuju pada sebuah buku bersampul hitam berjudul ‘The
Book With No Name’ yang ditulis dengan tinta berwarna merah. Rasa penasaranku
langsung tergelitik, dan tanpa pikir panjang, aku langsung membelinya.
Kini,
buku itu sudah kulahap hampir setengahnya. Kubuka buku itu di bagian yang sudah
kutandai, kemudian aku terhanyut ke dalam cerita dalam buku itu. Lima menit
telah berlalu seakan-akan hanya terjadi dalam satu kedipan mata. Tanpa sadar
rokok yang sedari tadi aku hisap kini sudah menjadi puntung di asbak. Aku
kembali menyalakan sebatang rokok untuk menemani waktuku berkencan dengan novel
itu sembari menunggu pesananku tiba. Baru satu kali aku menghisap rokokku,
tiba-tiba aku menangkap dari sudut mataku sesosok perempuan memasuki kafe ini.
Sosok perempuan itu sangat tidak asing bagiku, meskipun kini tampilannya sudah
berbeda sekali. Pandanganku langsung tertuju pada sosok perempuan itu, dan aku
menatapnya lekat-lekat. Waktu terasa seolah-olah berhenti, nafasku terasa
sesak. Ada sebuah perasaan aneh yang menjalar dari ujung kaki ke ujung
kepalaku. Segala kenangan tentang perempuan itu seakan diputar kembali dalam
benakku.
Dulu,
kami pernah pergi ke sebuah toko buku untuk sekadar membaca novel fiksi. Saat
itu aku sedang suntuk di kampus dan tidak bisa berbuat banyak karena sudah
akhir bulan dan uang bulanan belum dikirim oleh orang tua. Tiba-tiba ia minta
diantarkan ke toko buku. Akhirnya aku mengiakan dan kami pergi dengan berjalan
kaki ke toko buku itu. Di sana, kami mencari novel-novel yang sudah terbuka
segelnya, entah oleh siapa, dan membacanya.
Ia menyandarkan kepalanya ke bahuku, kemudian kami terhanyut oleh cerita
di dalam novel yang kami baca, hingga tanpa terasa hari sudah gelap dan kami
memutuskan untuk pulang setelah satpam yang sedari tadi memerhatikan kami
akhirnya jengkel dan mengusir kami. Kini, ia terlihat necis dengan blazer yang
tampak mahal. Sudah pasti ia bisa membeli dan membaca buku apapun yang ia suka.
Pernah
juga pada saat itu kami berdua makan hanya satu kali tiap hari, dan itu pun
terpaksa berhutang kepada ibu kantin di kampus. Kami adalah mahasiswa rantau
yang harus berjuang bukan hanya soal akademis, tetapi juga soal perut.
Sebenarnya agak berlebihan jika dikatakan sebagai mahasiswa perantau, sebab ia
tinggal di Mampang sedangkan aku di Bekasi, dan kampus kami ada di Depok. Hanya
saja, kami seperti mendramatisir keadaan dengan memilih untuk menetap di rumah
kos masing-masing selama masih kuliah. Akhirnya, kami berdua terlihat kurus dan
tampak seperti orang yang kurang sehat. Kini, pipinya tidak lagi terlihat
tirus, dan badannya tampak lebih berisi. Sepertinya ia sudah bisa merawat
dirinya dengan baik.
Kami
pernah mengikat hubungan kami dengan sepasang cincin yang tersemat di jari
manis kami. Sudah empat tahun usia hubungan kami saat itu, dan aku memutuskan
untuk merencanakan langkah berikutnya. Aku menabung sekuat tenaga selama
sekitar satu tahun hingga akhirnya aku mengajaknya ke Blok M untuk membeli
sepasang cincin dari perak. Satu aku pasangkan di jari manisnya, satunya lagi
ia pasangkan di jari manisku. Setelahnya, kami merencanakan dengan matang
apa-apa saja yang diperlukan untuk hubungan yang lebih serius. Namun, semesta
seakan memiliki rencana lain untuk kami. Aku melakukan sebuah kesalahan yang
membuat ia memutuskan untuk menyudahi hubungan kami. Saat itu, ia berkata bahwa
ia akan kembali jika aku mampu mengubah perilakuku ke arah yang lebih baik.
Kini, ia hanya berjarak beberapa langkah dariku. Jika semesta mengatur setiap
perpisahan, tentu ia juga mengatur setiap pertemuan kembali. Aku mencoba
mengumpulkan keberanianku dan menghentikan kenangan-kenangan yang terus diputar
ulang dalam benakku. Keringat dingin mendadak muncul di keningku ketika
pandangan kami bertemu setelah sekian lama. Matanya yang agak sayu menatap ke
arahku, seolah-olah memberikan angin sejuk yang menghadirkan ketenangan. Hanya
itu yang tidak berubah hingga kini. Sayup-sayup terdengar lagu Firehouse yang
berjudul ‘When I Look Into Your Eyes’ dari pengeras suara. Aku pun memantapkan
hati dan memutuskan untuk menghampirinya.
“Rara?
Apa kabar?” kataku sedikit gugup. Tanganku kini terasa sangat dingin.
“Angga!
Ya ampun, kirain siapa. Baik, baik... Alhamdulillah. Lu sendiri gimana
kabarnya?” Rara memasukkan tangan kirinya ke dalam saku blazernya, kemudian ia
tersenyum manis kepadaku.
“Alhamdulillah,
gue juga baik-baik aja nih. Udah rada gendutan juga.”
“Bisa
aja lu!” ujar Rara sambil menepuk lengan kiriku dengan tangan kanannya, lalu ia
tertawa kecil. “Lagi ngapain lu di sini, Ngga?”
“Oh,
ini... Gue lagi nyantai aja. Baca buku sambil nunggu pesenan gue dateng. Yuk,
barengan aja sini.” Aku mulai mencoba untuk mencairkan suasana.
“Eh,
gausah, gapapa kok. Gue cuma mau ambil pesenan aja sebentar. Suami gue nungguin
tuh di mobil.”
“Oh...
Iya...” jawabku kikuk. Tiba-tiba aku seperti diselimuti oleh kehampaan yang
pekat. Hanya senyum terpaksa yang tampak pada wajahku.
“Angga,
gue duluan ya. Dadah!” Rara terlihat mengambil bungkusan makanan yang diberikan
oleh pramusaji, kemudian ia bergegas meninggalkan diriku yang kini menatap
kosong ke arah punggungnya yang kian menjauh. Tanpa sadar, lagu yang terdengar
dari pengeras suara sudah berganti menjadi lagu ‘She’s Gone’ yang dinyanyikan
oleh Steelheart.
“Semesta
kadang-kadang lucu, ya”, batinku, seraya kembali ke mejaku. Kembali ke
kesendirianku.