Head

Jumat, 23 Juli 2021

Kini

 

Mentari sore itu seolah-olah sedang mengemasi apa saja yang mampu dijangkau oleh cahayanya. Ia sudah siap untuk menyelinap diam-diam ke balik cakrawala agar tidak berpapasan dengan rembulan. Pepohonan, jalan raya, pedagang asongan, pengamen cilik, kendaraan yang saling menderu riuh-rendah menyemarakkan kemacetan di Jakarta, dan gedung-gedung perkantoran tidak luput dari sapuan cahaya keemasannya. Tidak terkecuali sebuah kafe kecil di suatu sudut Darmawangsa, Jakarta Selatan, tempat aku menghabiskan hari-hariku.

Kafe kecil itu memiliki kesan tersendiri bagiku. Di sana aku selalu merasa hiruk-pikuk yang ada di kepalaku tertinggal di pintu masuk, dekat keset cokelat besar bertuliskan selamat datang. Setiap kali aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam kafe itu, aku seolah-olah memasuki dunia yang berbeda. Sebuah dunia di mana aku bisa merasakan sebuah kesendirian di tengah keramaian. Tidak ada pikiran-pikiran yang mengganjal di benakku, tidak pula dengan segala rencana pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh otakku. Hanya aku dan diriku. Namun, tidak dengan hari ini.

Aku menghampiri sebuah meja kayu dengan dua buah sofa kecil yang saling berhadapan. Lalu aku meletakkan tasku di meja kemudian menghempaskan diriku ke pelukan sofa kecil yang nyaman itu. Sebuah sudut favoritku; bagian kanan bersisian dengan jendela yang menghadap ke jalan raya, bagian belakang bersisian dengan dinding, dan aku juga bisa melihat siapa saja yang keluar-masuk kafe ini dengan mudah. Lagu-lagu slow rock terdengar sayup-sayup dari pengeras suara yang terpasang di beberapa sudut kafe, salah satunya di dinding dekat sofaku. Tidak lama kemudian, seorang pramusaji menghampiriku dari sebelah kiri sambil membawa sebuah buku menu.

“Selamat sore, emm... mau pesan apa hari ini... pak?” kata pramusaji itu sedikit gugup tetapi berusaha ramah. Sepertinya hari ini adalah hari besar pertamanya, karena kulihat ada tulisan ‘TRAINEE’ di kertas nama yang dikaitkan di saku bajunya. Kurasa, jika aku pesan minuman yang biasa aku pesan, ia akan kesulitan untuk mengingatnya.

“Saya mau iced green tea latte, gulanya sedikit saja, ya. Lalu saya mau kentang goreng, dan sandwich tuna”, kataku sambil merapikan posisi dudukku.

Green tea latte... iced, ya? Lalu french fries, dan sandwich tuna”, sahut pramusaji itu sambil menyelesaikan tulisan di sebuah buku kecil di tangan kirinya. Ia tampak berusaha keras untuk menulis segala detail pesanan yang ia terima, alisnya pun kini berkerut, wajahnya menegang. “Ada lagi, pak?”

“Nanti kalau ada lagi, menyusul, ya”, kataku sambil mengeluarkan sebungkus rokok dan korek dari dalam saku jaketku.

“Baik, pesanannya ditunggu sepuluh menit, ya pak.” Pramusaji itu kemudian mengambilkanku sebuah asbak putih dari balik meja karyawan, lalu pergi untuk menyelesaikan pesananku. Aku menyalakan sebatang rokok lalu menyandarkan diri kembali ke sofa. Asap putih tipis membumbung ke udara kemudian tertiup angin keluar melalui jendela. Inilah yang membuatku senang duduk di sudut ini. Namun, aku seakan tidak memiliki firasat bahwa sepuluh menit ini akan menjadi sepuluh menit yang paling penting dalam hidupku.

Aku mengeluarkan sebuah novel dari dalam tasku, lalu aku meletakkan tasku di sofa kosong di hadapanku. Pertemuanku dengan novel ini bisa dikatakan terjadi secara tidak sengaja. Saat itu aku sedang mencari buku tentang Jalan Raya Pos yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer di sebuah toko buku. Aku seharusnya mencari di rak buku tentang sejarah, tetapi tanpa sadar aku melangkahkan kakiku hingga aku tiba di rak buku tentang misteri. Ketika aku tersadar bahwa aku mencari di rak yang salah, mataku tertuju pada sebuah buku bersampul hitam berjudul ‘The Book With No Name’ yang ditulis dengan tinta berwarna merah. Rasa penasaranku langsung tergelitik, dan tanpa pikir panjang, aku langsung membelinya.

Kini, buku itu sudah kulahap hampir setengahnya. Kubuka buku itu di bagian yang sudah kutandai, kemudian aku terhanyut ke dalam cerita dalam buku itu. Lima menit telah berlalu seakan-akan hanya terjadi dalam satu kedipan mata. Tanpa sadar rokok yang sedari tadi aku hisap kini sudah menjadi puntung di asbak. Aku kembali menyalakan sebatang rokok untuk menemani waktuku berkencan dengan novel itu sembari menunggu pesananku tiba. Baru satu kali aku menghisap rokokku, tiba-tiba aku menangkap dari sudut mataku sesosok perempuan memasuki kafe ini. Sosok perempuan itu sangat tidak asing bagiku, meskipun kini tampilannya sudah berbeda sekali. Pandanganku langsung tertuju pada sosok perempuan itu, dan aku menatapnya lekat-lekat. Waktu terasa seolah-olah berhenti, nafasku terasa sesak. Ada sebuah perasaan aneh yang menjalar dari ujung kaki ke ujung kepalaku. Segala kenangan tentang perempuan itu seakan diputar kembali dalam benakku.

Dulu, kami pernah pergi ke sebuah toko buku untuk sekadar membaca novel fiksi. Saat itu aku sedang suntuk di kampus dan tidak bisa berbuat banyak karena sudah akhir bulan dan uang bulanan belum dikirim oleh orang tua. Tiba-tiba ia minta diantarkan ke toko buku. Akhirnya aku mengiakan dan kami pergi dengan berjalan kaki ke toko buku itu. Di sana, kami mencari novel-novel yang sudah terbuka segelnya, entah oleh siapa, dan membacanya.  Ia menyandarkan kepalanya ke bahuku, kemudian kami terhanyut oleh cerita di dalam novel yang kami baca, hingga tanpa terasa hari sudah gelap dan kami memutuskan untuk pulang setelah satpam yang sedari tadi memerhatikan kami akhirnya jengkel dan mengusir kami. Kini, ia terlihat necis dengan blazer yang tampak mahal. Sudah pasti ia bisa membeli dan membaca buku apapun yang ia suka.

Pernah juga pada saat itu kami berdua makan hanya satu kali tiap hari, dan itu pun terpaksa berhutang kepada ibu kantin di kampus. Kami adalah mahasiswa rantau yang harus berjuang bukan hanya soal akademis, tetapi juga soal perut. Sebenarnya agak berlebihan jika dikatakan sebagai mahasiswa perantau, sebab ia tinggal di Mampang sedangkan aku di Bekasi, dan kampus kami ada di Depok. Hanya saja, kami seperti mendramatisir keadaan dengan memilih untuk menetap di rumah kos masing-masing selama masih kuliah. Akhirnya, kami berdua terlihat kurus dan tampak seperti orang yang kurang sehat. Kini, pipinya tidak lagi terlihat tirus, dan badannya tampak lebih berisi. Sepertinya ia sudah bisa merawat dirinya dengan baik.

Kami pernah mengikat hubungan kami dengan sepasang cincin yang tersemat di jari manis kami. Sudah empat tahun usia hubungan kami saat itu, dan aku memutuskan untuk merencanakan langkah berikutnya. Aku menabung sekuat tenaga selama sekitar satu tahun hingga akhirnya aku mengajaknya ke Blok M untuk membeli sepasang cincin dari perak. Satu aku pasangkan di jari manisnya, satunya lagi ia pasangkan di jari manisku. Setelahnya, kami merencanakan dengan matang apa-apa saja yang diperlukan untuk hubungan yang lebih serius. Namun, semesta seakan memiliki rencana lain untuk kami. Aku melakukan sebuah kesalahan yang membuat ia memutuskan untuk menyudahi hubungan kami. Saat itu, ia berkata bahwa ia akan kembali jika aku mampu mengubah perilakuku ke arah yang lebih baik. Kini, ia hanya berjarak beberapa langkah dariku. Jika semesta mengatur setiap perpisahan, tentu ia juga mengatur setiap pertemuan kembali. Aku mencoba mengumpulkan keberanianku dan menghentikan kenangan-kenangan yang terus diputar ulang dalam benakku. Keringat dingin mendadak muncul di keningku ketika pandangan kami bertemu setelah sekian lama. Matanya yang agak sayu menatap ke arahku, seolah-olah memberikan angin sejuk yang menghadirkan ketenangan. Hanya itu yang tidak berubah hingga kini. Sayup-sayup terdengar lagu Firehouse yang berjudul ‘When I Look Into Your Eyes’ dari pengeras suara. Aku pun memantapkan hati dan memutuskan untuk menghampirinya.

“Rara? Apa kabar?” kataku sedikit gugup. Tanganku kini terasa sangat dingin.

“Angga! Ya ampun, kirain siapa. Baik, baik... Alhamdulillah. Lu sendiri gimana kabarnya?” Rara memasukkan tangan kirinya ke dalam saku blazernya, kemudian ia tersenyum manis kepadaku.

“Alhamdulillah, gue juga baik-baik aja nih. Udah rada gendutan juga.”

“Bisa aja lu!” ujar Rara sambil menepuk lengan kiriku dengan tangan kanannya, lalu ia tertawa kecil. “Lagi ngapain lu di sini, Ngga?”

“Oh, ini... Gue lagi nyantai aja. Baca buku sambil nunggu pesenan gue dateng. Yuk, barengan aja sini.” Aku mulai mencoba untuk mencairkan suasana.

“Eh, gausah, gapapa kok. Gue cuma mau ambil pesenan aja sebentar. Suami gue nungguin tuh di mobil.”

“Oh... Iya...” jawabku kikuk. Tiba-tiba aku seperti diselimuti oleh kehampaan yang pekat. Hanya senyum terpaksa yang tampak pada wajahku.

“Angga, gue duluan ya. Dadah!” Rara terlihat mengambil bungkusan makanan yang diberikan oleh pramusaji, kemudian ia bergegas meninggalkan diriku yang kini menatap kosong ke arah punggungnya yang kian menjauh. Tanpa sadar, lagu yang terdengar dari pengeras suara sudah berganti menjadi lagu ‘She’s Gone’ yang dinyanyikan oleh Steelheart.

“Semesta kadang-kadang lucu, ya”, batinku, seraya kembali ke mejaku. Kembali ke kesendirianku.

 

Kamis, 17 Juni 2021

Shinta dan Pilihannya

 

Setelah pernikahannya dengan Rama, Shinta pindah ke Ayodhya, Ibukota Kerajaan Kosala bersama suaminya. Ayodhya adalah kota besar yang memiliki istana megah berwarna putih, dengan pilar-pilar yang menjulang di setiap sisi, taman-taman dan kolam air mancur menghiasi hampir di setiap sudut istana, dan pepohonan serta kebun bunga yang ditata begitu indah. Bahkan, jalan yang menuju pintu utama istana dilapisi marmer yang mengilap, sehingga siapapun yang berjalan di sana akan merasa seolah-olah sedang berjalan di atas kaca.  Meskipun Ayodhya adalah sebuah kota yang maju dan dipimpin oleh suaminya sendiri, Shinta melihatnya hanya sebagai kota besar pada umumnya. Orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada pedagang yang menjajakan porselen di tokonya, kereta kuda yang tak pernah berhenti hilir-mudik membawa padi, sayuran, dan hasil panen lainnya, dan pandai besi yang sedang menempa senjata di dalam bengkel kerjanya. Meskipun demikian, tidak ada hal istimewa dari Ayodhya yang mampu menarik perhatian Shinta selain Rama seorang.

Shinta memang telah berkomitmen untuk mencurahkan seluruh jiwa dan raganya kepada Rama semenjak mereka menikah. Baginya, siapa pun yang berhasil meregangkan tali busur sakti milik Dewa Siwa, layak untuk dipertahankan hingga ajal menjemput. Tidak ada satu orang pun yang mampu memisahkan kedekatan antara Shinta dengan Rama. Ke mana pun Rama pergi, Shinta selalu hadir menyertainya. Namun, belakangan ini Shinta terlihat gundah gulana. Ia sering berdiam diri di dalam kamarnya, memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong. Rama mulai sering bepergian jauh selama berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, dan melarang Shinta untuk ikut. Shinta mulai merasa ada sesuatu yang aneh pada diri Rama, tetapi di sisi lain, ia tidak mau melawan perintah suami yang dicintainya. Kegundahan Shinta memuncak ketika ia tidak diizinkan ikut berburu oleh Rama di hutan yang jaraknya tidak begitu jauh dari perbatasan kota.

“Kakanda, izinkanlah aku ikut berburu denganmu,” ujar Shinta sedikit memelas.

“Adindaku, tak tahukah engkau betapa berbahayanya hutan di tepi kota sana?” jawab Rama sedikit dingin.

“Kakanda, tak ada satu pun tempat yang berbahaya di muka bumi ini selama ada kakanda yang menyertaiku,” Shinta berjalan pelan menghampiri Rama.

“Aku tahu, adinda. Tetapi kumohon mengertilah betapa aku mencintaimu sepenuh hatiku. Aku tak mau sesuatu terjadi padamu ketika aku sedang berburu nanti,” Rama menjauh dari Shinta dan mulai menyiapkan pakaian untuk berburu.

“Apakah wujud cinta kakanda kepadaku adalah menjauhkan aku dari kakanda? Membiarkan hari-hariku tertutup awan kelabu, sementara mentari mengizinkan orang-orang di luar sana menari riang dan bernyanyi merdu?” Shinta berusaha mengendalikan nada suaranya agar Rama tidak tersinggung atas ucapannya. Rama yang sedang mempersiapkan pakaian berburunya pun sedikit tersentak dan menghentikan kegiatannya. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu.

“Aku hanya tak ingin mendampingi kakanda di saat senang saja. Maka, izinkanlah-“

“Baik. Baiklah. Aku mengerti, adinda,” ucap Rama memotong perkataan Shinta. “Aku akan memberikanmu satu syarat jika kau mau ikut berburu denganku,” sambung Rama dengan nada bicara yang mulai tegas.

“Tidak akan ada syarat yang lebih berat dari pada harus jauh darimu, kakanda.”

“Aku akan mengajak Laksmana saat berburu nanti. Aku ingin kau selalu di dekatnya, dan patuhi semua perintahnya.” Rama tampak sudah selesai mempersiapkan pakaian untuk berburu, kemudian memanggil pelayan untuk segera menyiapkan tunggangan.

Perasaan Shinta saat itu sangat senang. Senyumnya begitu lebar, dan wajahnya pun merona. Akhirnya ia boleh ikut berburu dengan Rama meskipun harus setuju dengan sebuah syarat. Namun, Shinta tampak tidak keberatan sama sekali dengan syarat yang diajukan oleh Rama. Awan mendung yang menyelimuti Shinta seolah-olah sirna dan berganti dengan pelanngi yang begitu indah.

Rombongan Rama, Shinta dan Laksmana akhirnya tiba di bibir hutan. Rama tanpa ragu langsung memasuki belantara itu, disusul oleh Shinta dan Laksmana. Cahaya matahari seakan-akan meredup seiring langkah kaki mereka yang semakin dalam memasuki hutan. Suasana di dalam hutan pun semakin sunyi dan mengerikan, hanya terdengar gemerisik dedaunan dari puncak pepohonan yang menjulang tinggi. Tidak ada rasa takut yang tampak dari raut wajah Shinta meskipun perjalanan semakin jauh ke jantung hutan, karena ia merasa aman di dekat Rama.

Tiba-tiba, Rama menghentikan langkahnya dan segera memasang sikap siaga. Shinta dan Laksmana sontak saja mengikutinya. Shinta melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa di kejauhan ada seekor rusa berwarna emas yang berkilauan. Rusa itu tampak sedang memakan dedaunan di sebuah bukit kecil di dalam hutan. Tanpa aba-aba, Rama melesat ke arah rusa itu dengan kecepatan yang luar biasa. Melihat ada ancaman yang datang, rusa itu pun melarikan diri tidak kalah cepatnya, sehingga mereka berdua menghilang dengan sekejap di kegelapan hutan belantara itu. Namun, tidak lama kemudian, Shinta mendengar jeritan Rama dari kejauhan. Dari suaranya, sepertinya Rama mengalami kesakitan yang luar biasa hebat. Pudar sudah keberanian Shinta yang sedari tadi ia tunjukkan, berganti dengan ketakutan yang amat sangat. Tubuh Shinta kini gemetar hebat. Air mata sudah terbendung di kedua matanya, siap untuk berderai kapan saja. Napasnya mulai terlihat tidak teratur.

Laksmana yang melihat kejadian itu langsung berusaha menenangkan Shinta, tetapi Shinta sudah tidak bisa lagi membendung air matanya. Ia bersimpuh dan mulai menangis sejadi-jadinya. Tidak pikir panjang, Laksmana merapalkan sebuah mantra kemudian membuat lingkaran dari cahaya yang mengelilingi Shinta.

“Shinta, apapun yang terjadi, jangan pernah keluar dari lingkaran ini!”

“Tidak, Laksmana! Aku mau menolong Rama!” ujar Shinta sambil terisak.

“Kau sudah sangat menolong Rama jika kau tetap berada di dalam lingkaran ini!” Laksmana langsung melesat ke arah suara Rama meninggalkan Shinta di dalam lingkaran cahaya. Shinta yang tak kuasa menahan tangisannya, mau tidak mau harus menuruti perintah Laksmana, karena itu merupakan syarat yang ditetapkan oleh Rama. Akhirnya, Shinta mampu menenangkan dirinya dan menunggu di dalam lingkaran cahaya sambil sesekali terisak.

Tiba-tiba, dari arah belakang, muncul seorang kakek yang berjalan terhuyung-huyung sambil memegangi sisi kiri perutnya. Ia terluka di sekujur tubuhnya, dan ada sebuah luka menganga di bagian yang ia pegangi. Darah segar membasahi pakaian dan celananya. Kakek itu mengerang kesakitan dan meminta pertolongan kepada Shinta.

“Nak, tolong aku... Aku diserang binatang buas...” Kakek itu tersungkur di dekat lingkaran cahaya yang mengelilingi Shinta.

“Aku bisa menyembuhkanmu, tetapi aku tidak boleh keluar dari lingkaran ini apapun yang terjadi...”

“Kumohon, nak... Aku sudah tidak kuat lagi...” Dengan berat hati, Shinta memutuskan untuk melanggar syarat yang diberikan oleh Rama dan keluar dari lingkaran itu. Ia segera merapalkan mantra penyembuhan, kemudian cahaya kehijauan keluar dari kedua tangannya. Saat Shinta mendekatkan kedua tangannya ke tubuh kakek itu, tiba-tiba kakek itu berubah wujud menjadi Rahwana. Betapa terkejutnya Shinta hingga ia terduduk dan membatu. Cahaya kehijauan di kedua tangannya meredup.

Rahwana adalah sosok raksasa berwajah sepuluh, yang dahulu juga berjuang dalam sayembara meregangkan tali busur Dewa Siwa untuk meluluhkan hati Shinta. Namun, ia gagal mengalahkan Rama yang bahkan mampu membuat busur itu patah menjadi dua bagian. Kini, Rahwana berdiri tepat di hadapan Shinta, menatap kedua matanya dalam-dalam. Hangat.

“Adinda, maafkan aku karena membuatmu takut. Tetapi, apakah cinta dapat diukur dari kemampuan seseorang mematahkan sebuah busur milik dewa?” Shinta bergeming, ia masih diliputi ketakutan yang luar biasa setelah mendapati sosok yang berdiri di hadapannya bukanlah suami yang dicintainya, melainkan sosok raksasa dengan sepuluh wajah yang semuanya menatap dirinya dalam-dalam.

“Adinda, aku memang memiliki sepuluh wajah, tetapi aku bisa pastikan kepadamu, bahwa tidak akan ada satupun wajahku yang berpaling darimu. Sekarang, izinkan aku membawamu ke istanaku di Alengka. Aku berjanji akan menjaga kesucianmu di sana. Rusa emas yang dikejar oleh suamimu adalah jelmaan anak buahku. Jangan khawatir, suamimu baik-baik saja” Shinta yang mendengar kata-kata itu langsung menjerit sejadi-jadinya. “Adinda, maafkan aku.” Rahwana langsung menggendong Shinta yang masih menjerit-jerit kemudian segera terbang keluar dari hutan. Saat dibawa oleh Rahwana, Shinta sempat melihat Rama dan Laksmana datang dari arah yang berbeda menuju lingkaran cahaya, tetapi terlambat. Namun, setidaknya Shinta masih memiliki keyakinan yang besar pada Rama, bahwa ia akan dibebaskan dari Rahwana.

 

***

 

Sudah genap satu tahun sejak Rahwana membawa Shinta ke istananya di Alengka, tetapi Rama tidak juga kunjung datang menyelamatkan Shinta. Shinta tidak mengira hidupnya akan serba berkecukupan di sini, karena pada awalnya, ia berpikir akan ditempatkan di sebuah penjara bawah tanah yang sangat sempit dan menjijikkan. Namun, sesampainya di istana Rahwana, ia justru ditempatkan di sebuah kamar mewah yang sangat luas. Semua kebutuhan Shinta sudah tersedia di istana ini, bahkan, Rahwana berkata bahwa ia tidak akan pernah sekalipun menemui Shinta kecuali pada saat makan di ruang makan. Namun, hanya satu permintaan Shinta yang tidak pernah dipenuhi oleh Rahwana; mempertemukannya dengan Rama.

Pada saat Shinta sedang menatap rembulan, ia dikejutkan dengan kedatangan sesosok siluman kera dari jendela kamarnya. Siluman kera itu memperkenalkan diri sebagai Hanoman. Awalnya Shinta merasa ketakutan melihat Hanoman dan berniat membunuhnya dengan menghunuskan sebilah belati. Namun, Hanoman meyakinkan Shinta bahwa dirinya adalah utusan Rama dengan menunjukkan cincin pernikahan Rama. Shinta akhirnya meyakini bahwa Hanoman adalah utusan suaminya.

“Berikan cincin ini pada suamiku, dan katakan padanya bahwa aku masih menunggu dia menjemputku,” ujar Shinta sambil melepaskan cincin dari jari manisnya dan memberikannya kepada Hanoman. Hanoman dengan sigap mengamankan cincin itu, kemudian melesat pergi keluar dari jendela dan menghilang di kegelapan malam.

Raut kegembiraan tidak dapat disembunyikan dari wajah Shinta. Betapa tidak, suami yang dicintainya akan segera menjemputnya dan membebaskannya dari istana Rahwana. Tidak ada hal yang mampu menorehkan senyum di wajah Shinta kecuali Rama. Hal ini pun diketahui oleh Rahwana saat sedang makan bersama Shinta.

“Adinda, apa gerangan yang membuat awan mendung menjauh dari wajahmu?”

“Tidak ada. Aku hanya sedang senang saja,” jawab Shinta dingin.

“Terkadang, senang dan sedih datang silih berganti. Tetapi, kesedihanmu adalah belati yang menyayat hatiku, dan kesenanganmu adalah penawarnya, adinda.”

“Aku sudah selesai makan. Aku akan kembali ke kamarku.” Shinta meninggalkan Rahwana yang masih menyantap makanannya di meja makan.

Tiba-tiba, Shinta mendengar suara gaduh dari luar istana, seperti sedang terjadi peperangan. Ia lalu segera menuju jendela untuk melihat keadaan di luar, dan mendapati Hanoman sedang memimpin puluhan ribu pasukan kera yang menyerang ke dalam istana. Rahwana dengan sigap mengamankan Shinta ke dalam kamarnya. Ketika Rahwana hendak mengunci kamar Shinta, dari luar terdengar suara lantang yang sangat dinantikan oleh Shinta. Suara yang selalu menenangkan jiwa dan raganya. Suara yang selalu mampu mengusir rasa sedih dan duka yang Shinta alami..

“RAHWANA! KAU AKAN MENEMUI AJALMU HARI INI!” Rama berteriak dengan lantang, kemudian terdengar suara pertarungan yang dahsyat dari luar kamar. Suara pedang yang beradu, teriakan-teriakan yang memilukan, dan dentuman yang sangat keras bahkan sampai menggetarkan dinding kamar Shinta, membuat perasaan Shinta semakin berkecamuk. Ia menantikan dengan cemas siapa yang pada akhirnya akan membuka pintu kamarnya. Pertarungan di luar kamar berlangsung cukup lama, bahkan hingga pertempuran di halaman istana sudah usai yang menyisakan puluhan ribu mayat, baik pasukan kera maupun pasukan Rahwana.

Tidak lama kemudian, suasana berubah menjadi hening. Pertarungan di luar kamar Shinta sudah selesai, dan hanya menyisakan bau anyir yang menyeruak ke udara dari darah para prajurit yang tumpah di istana Rahwana. Jantung Shinta berdegup kencang menantikan pintu kamarnya terbuka. Ia hampir tidak sanggup bernapas. Akhirnya pintu kayu yang besar itu terbuka. Shinta langsung bergegas mendekati pintu yang sedang terbuka itu. Terlihat sosok yang sudah tidak asing baginya. Tanpa sadar, air mata mengalir deras dari kedua matanya.

“Sudah tidak ada lagi yang tersisa. Mari, hamba antarkan pulang ke Ayodhya,” ujar Hanoman dengan tubuh bersimbah darah.


Ditulis oleh

Angga Hardy

Pulang

 

“Ayo balik! Jadi bareng ga lu sampe stasiun?”, kata salah satu temanku sambil merapikan tasnya.

Aku masih setengah sadar untuk mencerna ucapan temanku, sebelum akhirnya aku menyetujui pertanyaan itu. Sejenak aku mengembarai ingatanku sebelumnya, perjalanan dari Kelas Terbuka FIB UI menuju ke stasiun yang sangat mencekam, ternyata hanya mimpi. Kejadian yang aku alami di dalam mimpi seolah-olah sungguh terjadi, hingga aku benar-benar merasakan hawa kengeriannya menyelimuti diriku. Namun, aku merasa lega karena aku sudah kembali ke dunia nyata.

Setelah selesai merapikan barang-barang, kami memutuskan untuk berpisah dan pulang ke tempat tinggal masing-masing. Aku dan seorang temanku menuju ke arah stasiun, sedangkan tiga temanku yang lain ke arah sebaliknya, karena mereka bertiga tinggal di rumah kos yang sama. Jalanan yang kulalui malam ini sungguh berbeda dari apa yang aku alami sebelumnya, tidak ada lagi kesunyian dan hawa dingin yang seakan-akan meneror di setiap langkahku. Masih terlihat beberapa mahasiswa yang sedang duduk-duduk di gazebo dengan laptop yang masih menyala di hadapan mereka. Pos satpam, yang di dalam mimpiku hanya diterangi lampu temaram, masih dijaga oleh dua orang satpam yang saling berbincang sambil menunggui beberapa mobil yang masih terparkir. Namun, udara pada malam ini memang terasa agak dingin, sepertinya sudah akan memasuki musim penghujan.

Selama perjalanan menuju ke stasiun, aku menceritakan mimpi yang sebelumnya aku alami kepada temanku. Sontak saja ia tertawa terbahak-bahak, dan aku hanya pasrah mengiakan ledekan-ledekan yang ia lontarkan sepanjang perjalanan. Tawanya baru berhenti ketika kami sudah tiba di pintu masuk stasiun, karena ia kini menjadi sibuk dengan tasnya, mencari-cari kartu perjalanan kereta, yang sejak tadi sebenarnya sudah ia kalungi. Setelah akhirnya menyadari keberadaan kartu yang ia cari, ia hanya melemparkan senyum yang sangat lebar kepadaku sambil berkata, “hehe, ini dia”.

Stasiun Universitas Indonesia masih ramai oleh orang yang hendak masuk atau keluar stasiun, padahal waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Orang-orang yang hendak masuk stasiun, kebanyakan adalah para mahasiswa yang akan pulang ke arah Bogor atau Jakarta, sedangkan para pekerja kantoran yang tinggal di sekitar sini mendominasi pintu keluar. Seorang petugas perempuan yang berseragam putih dengan celana panjang biru tua masih terlihat semangat memberi sapaan kepada orang-orang yang baru masuk stasiun, dan seorang satpam sibuk mengarahkan orang-orang yang mau keluar agar tidak menumpuk, karena aku lihat kereta ke arah Bogor baru saja selesai menurunkan penumpang. Sejumlah perempuan terlihat sedang asyik bersenda-gurau di tempat pengisian daya ponsel dan sesekali mereka cekikikan setelah salah satu dari mereka menunjukkan layar ponselnya pada mereka. Ada dua orang satpam, salah satunya ada di sisi seberang, yang sigap menjaga pintu penyeberangan orang. Mereka terlihat memegangi ujung rantai yang digunakan untuk menutup penyeberangan ketika ada kereta yang melintas. Di peron arah Jakarta, ada instalasi menarik dengan ungu sebagai warna utamanya yang digunakan oleh beberapa mahasiswi untuk berswafoto malam ini. Mungkin saat siang hari, lebih banyak orang yang memanfaatkan instalasi itu.

Terdengar suara lelaki dari pengeras suara stasiun yang memberikan informasi bahwa kereta yang akan kutumpangi tiba beberapa saat lagi. Aku pun berpamitan dengan temanku, karena ia menunggu kereta di peron arah Bogor, sedangkan aku harus menyeberang rel dengan agak tergesa karena kereta arah Jakarta adalah yang terakhir pada malam ini. Ternyata masih banyak orang yang mau ke arah Jakarta. Kurasa mereka memang sengaja mengincar kereta terakhir supaya bisa lebih nyaman menikmati perjalanan dengan kereta yang agak kosong. Ternyata bukan hanya aku saja yang berpikiran seperti itu.

Tidak lama kemudian, terlihat pancaran cahaya yang sangat terang dari arah selatan yang diiringi dengan suara lelaki yang memberitahu dari pengeras suara bahwa kereta terakhir ke arah Jakarta akan segera tiba. Orang-orang yang sebelumnya terlihat lelah menanti, kini bersemangat menyabut kedatangan kereta. Lelaki itu juga memberi arahan dari pengeras suara kepada para penumpang agar mereka tidak melebihi garis kuning yang ada di lantai peron. Namun, beberapa orang masih saja ada yang abai terhadap arahan tersebut, mungkin sudah tidak sabar ingin menaiki kereta yang telah lama dinantikan. Pancaran cahaya tadi, kini semakin terang, dan sumber cahaya itu sudah terlihat jelas, bagian depan kereta rel listrik yang khas dengan warna merah dan kuning seolah-olah berderap gagah memimpin pasukan ular besi demi mengantar orang-orang ke tujuannya masing-masing.

Kereta yang dinantikan akhirnya berhenti dan membuka pintunya. Udara dingin dari dalam kereta menyeruak keluar sesaat setelah pintu kereta terbuka. Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam kereta, bersamaan dengan orang-orang yang ikut menantikan sedari tadi di peron. Suasana di dalam kereta memang tidak ramai, tetapi tidak ada kursi kosong sehingga aku memutuskan untuk bersandar di dekat pintu, yang tidak lama kemudian tertutup. Aku mulai memasang lagu di ponselku dan mendengarkannya melalui headset. Di dalam kereta, orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada sepasang mahasiswa yang sedang berbincang entah apa, kadang yang perempuan menepuk lengan lelakinya sambil tertawa kecil. Ada juga seorang ibu paruh baya yang tampak kelelahan sehingga terlelap dengan posisi kepala tersandar ke jendela. Di sebelahnya ada seorang pemuda yang tampak risi dengan ibu itu karena sesekali bahunya menjadi sandaran kepala si ibu. Aku melihat seorang bapak tua di kursi dekat sambungan kereta, menahan kantuk sambil menjaga posisi cucunya yang sedang tidur pulas di pangkuan bapak tua itu. Sepertinya mereka baru pulang entah dari mana.

Pintu kereta terbuka dan menutup setiap berhenti di stasiun, melepas dan menyambut orang-orang yang silih berganti ke dalam kereta. Seorang kakek yang baru masuk ke dalam kereta terlihat menyapu pandangannya ke sekeliling, mencari kursi kosong. Pemuda yang duduk di sebelah ibu yang tertidur tadi, dengan sigap berdiri dan memberikan kursinya kepada kakek itu. Si ibu yang terkejut karena gerakan pemuda itu, terbangun lalu membetulkan posisi duduknya. Inilah yang membuat aku senang menggunakan kereta saat aku bepergian. Aku bisa melihat berbagai macam orang dengan keunikannya masing-masing.

Perjalananku masih cukup jauh, aku memutuskan untuk menghanyutkan diri dalam alunan lagu yang kuputar dari ponselku. Kusandarkan kepalaku ke dekat jendela di pintu kereta agar bisa melihat pemandangan di luar. Memang terlihat agak gelap, tetapi setidaknya aku bisa melihat kendaraan yang masih lalu-lalang di malam yang semakin larut. Mobil-mobil terlihat mengantre di pintu perlintasan kereta, sementara motor-motor meliuk-liuk di antara mobil yang mengantre supaya bisa menjadi yang terdepan. Kota ini memang seolah-olah tidak pernah tidur.

Tanpa terasa, kereta yang kunaiki tiba di stasiun Tebet. Aku harus segera turun dan bergegas keluar stasiun untuk melanjutkan perjalanan dengan bus. Banyak orang yang juga mengantre menunggu pintu kereta terbuka, termasuk pemuda yang memberikan tempat duduknya untuk kakek tadi. Aku menyempatkan diri melihat ke arah bapak tua yang memangku cucunya. Kini mereka berdua sudah terlelap. Kuharap mereka sampai ke tujuan dengan selamat.

Kereta akhirnya berhenti di stasiun Tebet. Kini semakin banyak orang yang mengantre untuk keluar dari kereta. Pintu kereta terbuka, dan orang-orang berduyun-duyun keluar dari kereta, termasuk di antaranya adalah aku. Kereta yang tadinya ramai, kini terlihat jauh lebih lengang. Aku mempercepat langkahku ke arah pintu keluar stasiun, berharap bus yang akan kutumpangi masih setia menunggu penumpang yang pulang terlalu larut. Namun, sepertinya tidak untuk malam ini. Perasaanku mulai tidak enak setelah aku berhasil keluar dari stasiun. Tempat biasa bus itu menunggu penumpang kini sudah sepi, hanya terlihat beberapa petugas bus yag sedang mendata laporan perjalanan hari ini. Aku berjalan ragu menghampiri mereka dan berharap masih ada bus terakhir yang masih akan diberangkatkan.

“Bus terakhir baru saja berangkat, mas,” kata salah seorang petugas itu. Aku hanya bisa pasrah menerima kenyataan bahwa aku harus menyisihkan 20.000 Rupiah untuk ongkos ojek online. Setidaknya, malam ini aku masih bisa pulang.

Ditulis oleh:

Angga Hardy

Larut

     Malam itu, aku merasakan lelah yang sangat, hingga aku terkadang melewatkan beberapa kalimat yang dilontarkan oleh temanku saat kami sedang berbincang usai menjalani serangkaian latihan teater. Sesekali aku melihat jam tangan, sudah hampir pukul setengah sebelas malam, sebaiknya aku segera pamit agar aku masih bisa menumpang kereta ke arah Jakarta. Aku lihat teman-temanku masih asyik berbincang dengan sesekali bersenda-gurau dengan teman-teman yang lain. Suasana di Kelas Terbuka FIB UI malam itu tampak riuh, padahal hanya tinggal kami berlima yang ada di sana. Tetapi tidak denganku.

    Aku memutuskan untuk pulang lebih dulu daripada teman-temanku karena jam sudah menunjukkan tepat pukul setengah sebelas malam. Aku menyusuri jalan setapak yang terbuat dari batu gamping yang disusun tidak beraturan sehingga membentuk pola tertentu. Sesekali aku terantuk batu gamping yang sudah terlepas karena memang penerangan di sana tidak terlalu bagus pada malam hari. Aku terus menyusuri jalan setapak itu sampai aku tiba di jalanan yang tersusun dari batu bata. Jalanan itu cukup lebar, dan menghubungkan gedung VI FIB UI dengan gedung X dan lahan parkir FIB UI. Aku sempat menyalakan rokok di jalan itu untuk mengusir rasa kantuk yang sudah mulai hinggap, tetapi sepertinya hanya efek plasebo saja. Rasa kantuk itu tetap saja menyelimutiku meskipun aku sudah menarik dalam-dalam asap rokokku.

    Jalur batu bata itu kini sudah mulai menanjak. Aku melihat gazebo yang terbuat dari batu di sebelah kananku sudah sepi. Biasanya tempat itu selalu dipenuhi mahasiswa yang sedang melakukan kegiatan mereka. Jalur yang kulalui semakin menanjak, hingga akhirnya aku tiba di depan lobby gedung X. Di sana juga sama sepinya seperti jalur yang kulalui sebelumnya, hanya saja kali ini terdengar suara jangkrik dan sesekali suara anjing yang menyalak di kejauhan entah di mana. Aku terus melanjutkan perjalananku hingga aku tiba di area parkir mobil. Terlihat di kejauhan, sebuah pos satpam yang sudah tidak ada penjaganya, hanya lampu temaram yang menerangi pos itu.

    Suasana malam itu semakin sepi dan aneh ketika angin dingin mulai berhembus dan mengenai tengkukku. Aku juga merasa waktu berjalan seakan lambat sekali. Aku kembali melihat jam tanganku, tetapi pandanganku seperti kabur. Aku rasa masih pukul setengah sebelas lewat sedikit. “Aneh”, batinku sambil terus melanjutkan perjalanan melewati pos satpam yang temaram tadi. Akhirnya aku tiba di sebuah trotoar jalan. Batu bata yang menjadi komponen utama trotoar itu terlihat sudah usang. Sudut-sudutnya sudah tidak lagi lancip. Beberapa bahkan ada yang sudah berganti warna karena dimakan usia. Tidak jauh dari situ ada jalan masuk menuju ke gedung Pusat Studi Jepang dengan portal yang sudah berkarat.

    Perasaanku semakin aneh saja setelah aku melewati pintu masuk itu, seperti ada yang mengawasiku dari kejauhan, tetapi sejauh mataku memandang, tidak ada orang lain selain aku di sini. Mungkin saja di balik salah satu pohon palem yang berjajar di sepanjang trotoar ini. Entahlah, bisa jadi ini hanya perasaanku saja akibat terlalu lelah beraktifitas seharian. Yang pasti, aku harus menyusuri trotoar ini supaya aku bisa tiba di stasiun kereta. Aku mempercepat langkah dan tarikan rokokku dengan harapan bisa segera melewati trotoar ini. Namun, semakin cepat aku melangkah, trotoar ini seakan semakin memanjang. Dari sudut mata kiriku juga bisa terlihat ada sebuah tanah lapang yang ditumbuhi rerumputan yang sudah menguning dan dedaunan yang berguguran. Akhirnya setelah beberapa saat, aku tiba di ujung trotoar ini, ada sebuah tempat pemberhentian bus. Syukurlah, setidaknya penerangan menjadi semakin baik.

    Aku menarik rokokku dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat agar setidaknya perasaan aneh yang sejak tadi aku rasakan bisa ikut terbuang bersama kepulan asap tipis yang membumbung ke udara. Namun, hal itu sepertinya tidak berlaku padaku saat itu. Akhirnya aku matikan rokokku dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Agar sampai ke stasiun, aku hanya perlu menyebrangi jalan raya kemudian menyusuri jalan menembus hutan kecil.

    Ketika aku hendak menyebrang jalan, perasaan aneh itu kembali muncul, dan kali ini semakin hebat. Keringat bercucuran di kening dan lenganku, angin dingin yang berhembus membuat suasana semakin aneh. Ditambah lagi, tidak ada satupun mobil atau motor yang melintasi jalanan itu, padahal seharusnya jalanan itu ramai dilalui kendaraan.

  Setibanya aku di seberang jalan, aku kembali memperceat langkahku sebagai persiapan untuk menembus hutan kecil. Meskipun jalur yang aku lalui sudah bagus, tetapi hutan itu cukup gelap, karena penerangan hanya ada di jalan masuk dan di pertengahan jalan. Benar saja, memasuki mulut hutan itu, aku langsung disambut dengan pepohonan besar yang seakan-akan memerhatikan setiap langkahku. Pepohonan besar dengan akar-akar yang bahkan lebih besar dari tubuhku, dan lumut yang memenuhi beberapa bagian pepohonan itu. Ada juga pohon yang sudah tumbang, sepertinya sudah lama sekali, karena ada tunas-tunas baru yang tumbuh di antara akar-akar yang mencuat ke jalanan. Jalur untuk menembus hutan itu agak menanjak, sehingga aku harus mengeluarkan tenaga ekstra supaya aku bisa segera keluar dari hutan itu.

    Sekeluarnya aku dari hutan, aku berhenti sejenak di samping sebuah pos satpam yang cukup besar untuk mengatur nafas. Aku menoleh ke belakang, ke jalur hutan yang aku lalui tadi, hanya kesunyian yang terlihat. Akhirnya aku melanjutkan perjalanan menuju ke stasiun kereta. Hanya menyebrangi jalan raya satu kali lagi, dan menaiki tangga stasiun, maka aku sudah bisa lepas dari perasaan aneh yang sejak tadi menyertaiku.

    Sepertinya perjalanan pulangku malam ini terasa sangat sulit. Ketika aku melangkahkan kaki untuk menyebrang jalan, terasa seperti ada yang menahan langkahku. Terasa sangat berat seperti sedang berjalan di sebuah kubangan lumpur. Aku harus memaksakan kakiku untuk melangkah sedikit lagi agar aku bisa sampai ke stasiun kereta. Lagi-lagi, jalanan yang aku sebrangi sepi. Benar benar sepi. Ini sungguh aneh, mengingat jalan itu memang jalan utama untuk masuk ke Universitas Indonesia. Setelah perjuangan yang melelahkan, akhirnya aku tiba di sebrang jalan. Hanya perlu menaiki tangga saja untuk sampai ke stasiun kereta. Aku berusaha untuk mengabaikan semua perasaan aneh yang sejak tadi kurasakan, tetapi kali ini rasanya sungguh nyata. Ketika kakiku menginjakkan anak tangga pertama, seluruh tubuhku terasa berat sekali. Seakan-akan ada sebongkah batu besar yang diikatkan di badanku. Selangkah demi selangkah aku menaiki anak tangga itu, dan tubuhku terasa semakin berat juga, sedangkan anak tangga itu seakan tidak ada ujungnya. Namun, akhirnya aku bisa tiba di anak tangga terakhir setelah aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat di setiap anak tangga yang kunaiki.

    Tiba di anak tangga terakhir, nafasku habis, dadaku sesak, dan leherku sakit sekali. Aku berhenti sejenak untuk mengatur nafas dan mengumpulkan energi yang habis terbuang di tangga itu. Aku melihat jam tanganku, waktu menunjukkan tepat pukul setengah sebelas. Aneh sekali. Mungkin saja jam tanganku rusak. Aku mengeluarkan ponselku, dan ketika aku lihat jamnya, menunjukkan pukul 22:30. Aku semakin yakin bahwa ada sesuatu yang aneh pada malam ini. Tidak lama, ada hawa dingin yang menjalar dari kaki menuju kepalaku yang membuat pandanganku menjadi kabur. Namun, aku tersadar karena ada seseorang yang memanggil namaku dari kejauhan. Aku melihat sekeliling, tetapi tidak ada siapapun, bahkan petugas stasiun pun tidak ada. Aku terus mendengar seseorang memanggil-manggil namaku, semakin lama suaranya semakin mendekat.

    “ANGGA!” suara terkeras yang pernah aku dengar selama hidupku, sekaligus suara yang sangat menenangkan. Suara itu juga yang menarik diriku kembali ke Kelas Terbuka FIB UI, tempat awal perjalanan tadi.

    “Katanya lu mau balik? Kok, malah tidur di sini?”


Ditulis oleh:

Angga Hardy

Sabtu, 21 Januari 2017

Lilin Dalam Gelas



Dahulu, aku pernah memiliki sebuah lilin berwarna putih, pemberian seorang teman. Entah kebetulan atau apa, lilin yang ia berikan padaku merupakan sebuah lilin yang sebenarnya dari dulu aku dambakan. Aku sendiri tidak terlalu paham, kenapa aku begitu menyukai lilin. Yang pasti, lilin mampu menerangi kamarku kala gelap, itupun jika lilin itu dinyalakan. Namun, jika aku tak menyalakan lilin itu, bentuknya tetap masih terlihat indah. Lilin itu aku letakkan di dalam sebuah gelas kosong yang tanpa sengaja aku temukan di belakang lemari. Memang, gelas itu sudah agak kotor karena debu, tapi setelah aku cuci, gelas itu sungguh bersih. Aku sengaja meletakkan lilin dalam gelas itu di sudut kamarku yang paling gelap, kemudian aku nyalakan lilin itu.

Aku tak bisa mengingat tepatnya kapan, yang pasti, sampai hari ini lilin itu masih menyala sejak pertama kali temanku memberikannya. Satu hal yang paling aku suka dari lilin dalam gelas itu; ketika lilin itu meleleh, ia selalu mengisi kekosongan dalam gelas. Aku senang melihat bagaimana lelehan lilin itu berusaha mengisi tiap-tiap celah dalam gelas, sehingga gelas itu selalu terlihat penuh, dan pastinya sudut paling gelap di kamarku memiliki cahayanya sendiri.

Aku rasa sudah hitungan tahun, lilin dalam gelas itu terus menyala di sudut kamarku; menerangi celah-celah yang dulu aku tak bisa mengira apa isinya, serta membawaku ke dalam sebuah petualangan baru. Sebuah petualangan yang bahkan akupun tak mengira akan sangat menyenangkan. Petualangan yang mengharuskan aku tak menjadi siapa-siapa. Menyenangkan, kan?

Dalam petualangan itu, aku menjadi Aku, sosok yang biasa saja tanpa kekuatan atau keahlian tertentu. Aku bukan seorang ahli pedang, penyihir, pemanah, apalagi seorang penyembuh; ia hanya seorang manusia pada umumnya. Di tengah perjalanan, Aku bertemu dengan beberapa orang yang kemudian menyertai Aku dalam perjalanannya. Tujuan dari perjalanan Aku? Entahlah, aku sendiri kurang begitu paham. Orang-orang yang ditemui Aku dalam perjalanan, di antaranya adalah seorang ahli pedang, penyihir, pemanah, juga seorang penyembuh. Aku terlihat begitu senang karena ia bisa bertemu dengan orang-orang yang tanpa segan menceritakan pengalaman mereka dalam petualangan mereka sendiri.

Namun, kini cahaya lilin dalam gelas di sudut kamarku itu mulai redup. Lelehan lilin di dalam gelas sudah penuh, hingga seperti membentuk lilin baru, hanya saja cahaya dan bentuknya sudah tidak seindah yang aku ingat. Mungkin karena aku jarang memerhatikan lilin itu, atau mungkin karena aku kurang memelihara cahayanya, atau mungkin karena kecerobohanku yang membiarkan lilin itu berkobar hebat akibat aku yang terlalu sering melemparkan kertas-kertas ke atas apinya. Entahlah, aku sendiri tak mampu menerka mana yang sebenarnya menjadi penyebab lilin dalam gelas di sudut kamarku itu meredup. Aku bahkan tak tahu sampai kapan cahaya itu akan terus bertahan. Namun, jika suatu saat cahaya itu padam, aku akan berhadapan dengan dilema.

Apakah aku hanya perlu menyalakan kembali lilin itu, atau cukup mencari lilin baru?

*Gambar dari Google Image

Written by: