Head

Kamis, 17 Juni 2021

Larut

     Malam itu, aku merasakan lelah yang sangat, hingga aku terkadang melewatkan beberapa kalimat yang dilontarkan oleh temanku saat kami sedang berbincang usai menjalani serangkaian latihan teater. Sesekali aku melihat jam tangan, sudah hampir pukul setengah sebelas malam, sebaiknya aku segera pamit agar aku masih bisa menumpang kereta ke arah Jakarta. Aku lihat teman-temanku masih asyik berbincang dengan sesekali bersenda-gurau dengan teman-teman yang lain. Suasana di Kelas Terbuka FIB UI malam itu tampak riuh, padahal hanya tinggal kami berlima yang ada di sana. Tetapi tidak denganku.

    Aku memutuskan untuk pulang lebih dulu daripada teman-temanku karena jam sudah menunjukkan tepat pukul setengah sebelas malam. Aku menyusuri jalan setapak yang terbuat dari batu gamping yang disusun tidak beraturan sehingga membentuk pola tertentu. Sesekali aku terantuk batu gamping yang sudah terlepas karena memang penerangan di sana tidak terlalu bagus pada malam hari. Aku terus menyusuri jalan setapak itu sampai aku tiba di jalanan yang tersusun dari batu bata. Jalanan itu cukup lebar, dan menghubungkan gedung VI FIB UI dengan gedung X dan lahan parkir FIB UI. Aku sempat menyalakan rokok di jalan itu untuk mengusir rasa kantuk yang sudah mulai hinggap, tetapi sepertinya hanya efek plasebo saja. Rasa kantuk itu tetap saja menyelimutiku meskipun aku sudah menarik dalam-dalam asap rokokku.

    Jalur batu bata itu kini sudah mulai menanjak. Aku melihat gazebo yang terbuat dari batu di sebelah kananku sudah sepi. Biasanya tempat itu selalu dipenuhi mahasiswa yang sedang melakukan kegiatan mereka. Jalur yang kulalui semakin menanjak, hingga akhirnya aku tiba di depan lobby gedung X. Di sana juga sama sepinya seperti jalur yang kulalui sebelumnya, hanya saja kali ini terdengar suara jangkrik dan sesekali suara anjing yang menyalak di kejauhan entah di mana. Aku terus melanjutkan perjalananku hingga aku tiba di area parkir mobil. Terlihat di kejauhan, sebuah pos satpam yang sudah tidak ada penjaganya, hanya lampu temaram yang menerangi pos itu.

    Suasana malam itu semakin sepi dan aneh ketika angin dingin mulai berhembus dan mengenai tengkukku. Aku juga merasa waktu berjalan seakan lambat sekali. Aku kembali melihat jam tanganku, tetapi pandanganku seperti kabur. Aku rasa masih pukul setengah sebelas lewat sedikit. “Aneh”, batinku sambil terus melanjutkan perjalanan melewati pos satpam yang temaram tadi. Akhirnya aku tiba di sebuah trotoar jalan. Batu bata yang menjadi komponen utama trotoar itu terlihat sudah usang. Sudut-sudutnya sudah tidak lagi lancip. Beberapa bahkan ada yang sudah berganti warna karena dimakan usia. Tidak jauh dari situ ada jalan masuk menuju ke gedung Pusat Studi Jepang dengan portal yang sudah berkarat.

    Perasaanku semakin aneh saja setelah aku melewati pintu masuk itu, seperti ada yang mengawasiku dari kejauhan, tetapi sejauh mataku memandang, tidak ada orang lain selain aku di sini. Mungkin saja di balik salah satu pohon palem yang berjajar di sepanjang trotoar ini. Entahlah, bisa jadi ini hanya perasaanku saja akibat terlalu lelah beraktifitas seharian. Yang pasti, aku harus menyusuri trotoar ini supaya aku bisa tiba di stasiun kereta. Aku mempercepat langkah dan tarikan rokokku dengan harapan bisa segera melewati trotoar ini. Namun, semakin cepat aku melangkah, trotoar ini seakan semakin memanjang. Dari sudut mata kiriku juga bisa terlihat ada sebuah tanah lapang yang ditumbuhi rerumputan yang sudah menguning dan dedaunan yang berguguran. Akhirnya setelah beberapa saat, aku tiba di ujung trotoar ini, ada sebuah tempat pemberhentian bus. Syukurlah, setidaknya penerangan menjadi semakin baik.

    Aku menarik rokokku dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat agar setidaknya perasaan aneh yang sejak tadi aku rasakan bisa ikut terbuang bersama kepulan asap tipis yang membumbung ke udara. Namun, hal itu sepertinya tidak berlaku padaku saat itu. Akhirnya aku matikan rokokku dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Agar sampai ke stasiun, aku hanya perlu menyebrangi jalan raya kemudian menyusuri jalan menembus hutan kecil.

    Ketika aku hendak menyebrang jalan, perasaan aneh itu kembali muncul, dan kali ini semakin hebat. Keringat bercucuran di kening dan lenganku, angin dingin yang berhembus membuat suasana semakin aneh. Ditambah lagi, tidak ada satupun mobil atau motor yang melintasi jalanan itu, padahal seharusnya jalanan itu ramai dilalui kendaraan.

  Setibanya aku di seberang jalan, aku kembali memperceat langkahku sebagai persiapan untuk menembus hutan kecil. Meskipun jalur yang aku lalui sudah bagus, tetapi hutan itu cukup gelap, karena penerangan hanya ada di jalan masuk dan di pertengahan jalan. Benar saja, memasuki mulut hutan itu, aku langsung disambut dengan pepohonan besar yang seakan-akan memerhatikan setiap langkahku. Pepohonan besar dengan akar-akar yang bahkan lebih besar dari tubuhku, dan lumut yang memenuhi beberapa bagian pepohonan itu. Ada juga pohon yang sudah tumbang, sepertinya sudah lama sekali, karena ada tunas-tunas baru yang tumbuh di antara akar-akar yang mencuat ke jalanan. Jalur untuk menembus hutan itu agak menanjak, sehingga aku harus mengeluarkan tenaga ekstra supaya aku bisa segera keluar dari hutan itu.

    Sekeluarnya aku dari hutan, aku berhenti sejenak di samping sebuah pos satpam yang cukup besar untuk mengatur nafas. Aku menoleh ke belakang, ke jalur hutan yang aku lalui tadi, hanya kesunyian yang terlihat. Akhirnya aku melanjutkan perjalanan menuju ke stasiun kereta. Hanya menyebrangi jalan raya satu kali lagi, dan menaiki tangga stasiun, maka aku sudah bisa lepas dari perasaan aneh yang sejak tadi menyertaiku.

    Sepertinya perjalanan pulangku malam ini terasa sangat sulit. Ketika aku melangkahkan kaki untuk menyebrang jalan, terasa seperti ada yang menahan langkahku. Terasa sangat berat seperti sedang berjalan di sebuah kubangan lumpur. Aku harus memaksakan kakiku untuk melangkah sedikit lagi agar aku bisa sampai ke stasiun kereta. Lagi-lagi, jalanan yang aku sebrangi sepi. Benar benar sepi. Ini sungguh aneh, mengingat jalan itu memang jalan utama untuk masuk ke Universitas Indonesia. Setelah perjuangan yang melelahkan, akhirnya aku tiba di sebrang jalan. Hanya perlu menaiki tangga saja untuk sampai ke stasiun kereta. Aku berusaha untuk mengabaikan semua perasaan aneh yang sejak tadi kurasakan, tetapi kali ini rasanya sungguh nyata. Ketika kakiku menginjakkan anak tangga pertama, seluruh tubuhku terasa berat sekali. Seakan-akan ada sebongkah batu besar yang diikatkan di badanku. Selangkah demi selangkah aku menaiki anak tangga itu, dan tubuhku terasa semakin berat juga, sedangkan anak tangga itu seakan tidak ada ujungnya. Namun, akhirnya aku bisa tiba di anak tangga terakhir setelah aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat di setiap anak tangga yang kunaiki.

    Tiba di anak tangga terakhir, nafasku habis, dadaku sesak, dan leherku sakit sekali. Aku berhenti sejenak untuk mengatur nafas dan mengumpulkan energi yang habis terbuang di tangga itu. Aku melihat jam tanganku, waktu menunjukkan tepat pukul setengah sebelas. Aneh sekali. Mungkin saja jam tanganku rusak. Aku mengeluarkan ponselku, dan ketika aku lihat jamnya, menunjukkan pukul 22:30. Aku semakin yakin bahwa ada sesuatu yang aneh pada malam ini. Tidak lama, ada hawa dingin yang menjalar dari kaki menuju kepalaku yang membuat pandanganku menjadi kabur. Namun, aku tersadar karena ada seseorang yang memanggil namaku dari kejauhan. Aku melihat sekeliling, tetapi tidak ada siapapun, bahkan petugas stasiun pun tidak ada. Aku terus mendengar seseorang memanggil-manggil namaku, semakin lama suaranya semakin mendekat.

    “ANGGA!” suara terkeras yang pernah aku dengar selama hidupku, sekaligus suara yang sangat menenangkan. Suara itu juga yang menarik diriku kembali ke Kelas Terbuka FIB UI, tempat awal perjalanan tadi.

    “Katanya lu mau balik? Kok, malah tidur di sini?”


Ditulis oleh:

Angga Hardy