“Ayo
balik! Jadi bareng ga lu sampe stasiun?”, kata salah satu temanku sambil
merapikan tasnya.
Aku
masih setengah sadar untuk mencerna ucapan temanku, sebelum akhirnya aku menyetujui
pertanyaan itu. Sejenak aku mengembarai ingatanku sebelumnya, perjalanan dari
Kelas Terbuka FIB UI menuju ke stasiun yang sangat mencekam, ternyata hanya
mimpi. Kejadian yang aku alami di dalam mimpi seolah-olah sungguh terjadi,
hingga aku benar-benar merasakan hawa kengeriannya menyelimuti diriku. Namun,
aku merasa lega karena aku sudah kembali ke dunia nyata.
Setelah
selesai merapikan barang-barang, kami memutuskan untuk berpisah dan pulang ke tempat
tinggal masing-masing. Aku dan seorang temanku menuju ke arah stasiun,
sedangkan tiga temanku yang lain ke arah sebaliknya, karena mereka bertiga
tinggal di rumah kos yang sama. Jalanan yang kulalui malam ini sungguh berbeda
dari apa yang aku alami sebelumnya, tidak ada lagi kesunyian dan hawa dingin
yang seakan-akan meneror di setiap langkahku. Masih terlihat beberapa mahasiswa
yang sedang duduk-duduk di gazebo
dengan laptop yang masih menyala di
hadapan mereka. Pos satpam, yang di dalam mimpiku hanya diterangi lampu
temaram, masih dijaga oleh dua orang satpam yang saling berbincang sambil
menunggui beberapa mobil yang masih terparkir. Namun, udara pada malam ini
memang terasa agak dingin, sepertinya sudah akan memasuki musim penghujan.
Selama
perjalanan menuju ke stasiun, aku menceritakan mimpi yang sebelumnya aku alami
kepada temanku. Sontak saja ia tertawa terbahak-bahak, dan aku hanya pasrah
mengiakan ledekan-ledekan yang ia lontarkan sepanjang perjalanan. Tawanya baru
berhenti ketika kami sudah tiba di pintu masuk stasiun, karena ia kini menjadi
sibuk dengan tasnya, mencari-cari kartu perjalanan kereta, yang sejak tadi
sebenarnya sudah ia kalungi. Setelah akhirnya menyadari keberadaan kartu yang
ia cari, ia hanya melemparkan senyum yang sangat lebar kepadaku sambil berkata,
“hehe, ini dia”.
Stasiun
Universitas Indonesia masih ramai oleh orang yang hendak masuk atau keluar
stasiun, padahal waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Orang-orang
yang hendak masuk stasiun, kebanyakan adalah para mahasiswa yang akan pulang ke
arah Bogor atau Jakarta, sedangkan para pekerja kantoran yang tinggal di
sekitar sini mendominasi pintu keluar. Seorang petugas perempuan yang
berseragam putih dengan celana panjang biru tua masih terlihat semangat memberi
sapaan kepada orang-orang yang baru masuk stasiun, dan seorang satpam sibuk
mengarahkan orang-orang yang mau keluar agar tidak menumpuk, karena aku lihat
kereta ke arah Bogor baru saja selesai menurunkan penumpang. Sejumlah perempuan
terlihat sedang asyik bersenda-gurau di tempat pengisian daya ponsel dan
sesekali mereka cekikikan setelah salah satu dari mereka menunjukkan layar
ponselnya pada mereka. Ada dua orang satpam, salah satunya ada di sisi
seberang, yang sigap menjaga pintu penyeberangan orang. Mereka terlihat
memegangi ujung rantai yang digunakan untuk menutup penyeberangan ketika ada
kereta yang melintas. Di peron arah Jakarta, ada instalasi menarik dengan ungu
sebagai warna utamanya yang digunakan oleh beberapa mahasiswi untuk berswafoto
malam ini. Mungkin saat siang hari, lebih banyak orang yang memanfaatkan
instalasi itu.
Terdengar
suara lelaki dari pengeras suara stasiun yang memberikan informasi bahwa kereta
yang akan kutumpangi tiba beberapa saat lagi. Aku pun berpamitan dengan
temanku, karena ia menunggu kereta di peron arah Bogor, sedangkan aku harus
menyeberang rel dengan agak tergesa karena kereta arah Jakarta adalah yang
terakhir pada malam ini. Ternyata masih banyak orang yang mau ke arah Jakarta.
Kurasa mereka memang sengaja mengincar kereta terakhir supaya bisa lebih nyaman
menikmati perjalanan dengan kereta yang agak kosong. Ternyata bukan hanya aku
saja yang berpikiran seperti itu.
Tidak
lama kemudian, terlihat pancaran cahaya yang sangat terang dari arah selatan
yang diiringi dengan suara lelaki yang memberitahu dari pengeras suara bahwa
kereta terakhir ke arah Jakarta akan segera tiba. Orang-orang yang sebelumnya
terlihat lelah menanti, kini bersemangat menyabut kedatangan kereta. Lelaki itu
juga memberi arahan dari pengeras suara kepada para penumpang agar mereka tidak
melebihi garis kuning yang ada di lantai peron. Namun, beberapa orang masih
saja ada yang abai terhadap arahan tersebut, mungkin sudah tidak sabar ingin
menaiki kereta yang telah lama dinantikan. Pancaran cahaya tadi, kini semakin terang,
dan sumber cahaya itu sudah terlihat jelas, bagian depan kereta rel listrik
yang khas dengan warna merah dan kuning seolah-olah berderap gagah memimpin
pasukan ular besi demi mengantar orang-orang ke tujuannya masing-masing.
Kereta
yang dinantikan akhirnya berhenti dan membuka pintunya. Udara dingin dari dalam
kereta menyeruak keluar sesaat setelah pintu kereta terbuka. Aku melangkahkan
kakiku masuk ke dalam kereta, bersamaan dengan orang-orang yang ikut menantikan
sedari tadi di peron. Suasana di dalam kereta memang tidak ramai, tetapi tidak
ada kursi kosong sehingga aku memutuskan untuk bersandar di dekat pintu, yang
tidak lama kemudian tertutup. Aku mulai memasang lagu di ponselku dan
mendengarkannya melalui headset. Di
dalam kereta, orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada sepasang
mahasiswa yang sedang berbincang entah apa, kadang yang perempuan menepuk
lengan lelakinya sambil tertawa kecil. Ada juga seorang ibu paruh baya yang
tampak kelelahan sehingga terlelap dengan posisi kepala tersandar ke jendela.
Di sebelahnya ada seorang pemuda yang tampak risi dengan ibu itu karena
sesekali bahunya menjadi sandaran kepala si ibu. Aku melihat seorang bapak tua
di kursi dekat sambungan kereta, menahan kantuk sambil menjaga posisi cucunya
yang sedang tidur pulas di pangkuan bapak tua itu. Sepertinya mereka baru
pulang entah dari mana.
Pintu
kereta terbuka dan menutup setiap berhenti di stasiun, melepas dan menyambut
orang-orang yang silih berganti ke dalam kereta. Seorang kakek yang baru masuk
ke dalam kereta terlihat menyapu pandangannya ke sekeliling, mencari kursi
kosong. Pemuda yang duduk di sebelah ibu yang tertidur tadi, dengan sigap
berdiri dan memberikan kursinya kepada kakek itu. Si ibu yang terkejut karena
gerakan pemuda itu, terbangun lalu membetulkan posisi duduknya. Inilah yang
membuat aku senang menggunakan kereta saat aku bepergian. Aku bisa melihat
berbagai macam orang dengan keunikannya masing-masing.
Perjalananku
masih cukup jauh, aku memutuskan untuk menghanyutkan diri dalam alunan lagu
yang kuputar dari ponselku. Kusandarkan kepalaku ke dekat jendela di pintu
kereta agar bisa melihat pemandangan di luar. Memang terlihat agak gelap,
tetapi setidaknya aku bisa melihat kendaraan yang masih lalu-lalang di malam
yang semakin larut. Mobil-mobil terlihat mengantre di pintu perlintasan kereta,
sementara motor-motor meliuk-liuk di antara mobil yang mengantre supaya bisa
menjadi yang terdepan. Kota ini memang seolah-olah tidak pernah tidur.
Tanpa
terasa, kereta yang kunaiki tiba di stasiun Tebet. Aku harus segera turun dan
bergegas keluar stasiun untuk melanjutkan perjalanan dengan bus. Banyak orang
yang juga mengantre menunggu pintu kereta terbuka, termasuk pemuda yang
memberikan tempat duduknya untuk kakek tadi. Aku menyempatkan diri melihat ke
arah bapak tua yang memangku cucunya. Kini mereka berdua sudah terlelap.
Kuharap mereka sampai ke tujuan dengan selamat.
Kereta
akhirnya berhenti di stasiun Tebet. Kini semakin banyak orang yang mengantre
untuk keluar dari kereta. Pintu kereta terbuka, dan orang-orang berduyun-duyun
keluar dari kereta, termasuk di antaranya adalah aku. Kereta yang tadinya
ramai, kini terlihat jauh lebih lengang. Aku mempercepat langkahku ke arah
pintu keluar stasiun, berharap bus yang akan kutumpangi masih setia menunggu
penumpang yang pulang terlalu larut. Namun, sepertinya tidak untuk malam ini.
Perasaanku mulai tidak enak setelah aku berhasil keluar dari stasiun. Tempat biasa
bus itu menunggu penumpang kini sudah sepi, hanya terlihat beberapa petugas bus
yag sedang mendata laporan perjalanan hari ini. Aku berjalan ragu menghampiri
mereka dan berharap masih ada bus terakhir yang masih akan diberangkatkan.
“Bus terakhir baru saja berangkat, mas,” kata salah seorang petugas itu. Aku hanya bisa pasrah menerima kenyataan bahwa aku harus menyisihkan 20.000 Rupiah untuk ongkos ojek online. Setidaknya, malam ini aku masih bisa pulang.
Ditulis oleh: