Head

Kamis, 17 Juni 2021

Pulang

 

“Ayo balik! Jadi bareng ga lu sampe stasiun?”, kata salah satu temanku sambil merapikan tasnya.

Aku masih setengah sadar untuk mencerna ucapan temanku, sebelum akhirnya aku menyetujui pertanyaan itu. Sejenak aku mengembarai ingatanku sebelumnya, perjalanan dari Kelas Terbuka FIB UI menuju ke stasiun yang sangat mencekam, ternyata hanya mimpi. Kejadian yang aku alami di dalam mimpi seolah-olah sungguh terjadi, hingga aku benar-benar merasakan hawa kengeriannya menyelimuti diriku. Namun, aku merasa lega karena aku sudah kembali ke dunia nyata.

Setelah selesai merapikan barang-barang, kami memutuskan untuk berpisah dan pulang ke tempat tinggal masing-masing. Aku dan seorang temanku menuju ke arah stasiun, sedangkan tiga temanku yang lain ke arah sebaliknya, karena mereka bertiga tinggal di rumah kos yang sama. Jalanan yang kulalui malam ini sungguh berbeda dari apa yang aku alami sebelumnya, tidak ada lagi kesunyian dan hawa dingin yang seakan-akan meneror di setiap langkahku. Masih terlihat beberapa mahasiswa yang sedang duduk-duduk di gazebo dengan laptop yang masih menyala di hadapan mereka. Pos satpam, yang di dalam mimpiku hanya diterangi lampu temaram, masih dijaga oleh dua orang satpam yang saling berbincang sambil menunggui beberapa mobil yang masih terparkir. Namun, udara pada malam ini memang terasa agak dingin, sepertinya sudah akan memasuki musim penghujan.

Selama perjalanan menuju ke stasiun, aku menceritakan mimpi yang sebelumnya aku alami kepada temanku. Sontak saja ia tertawa terbahak-bahak, dan aku hanya pasrah mengiakan ledekan-ledekan yang ia lontarkan sepanjang perjalanan. Tawanya baru berhenti ketika kami sudah tiba di pintu masuk stasiun, karena ia kini menjadi sibuk dengan tasnya, mencari-cari kartu perjalanan kereta, yang sejak tadi sebenarnya sudah ia kalungi. Setelah akhirnya menyadari keberadaan kartu yang ia cari, ia hanya melemparkan senyum yang sangat lebar kepadaku sambil berkata, “hehe, ini dia”.

Stasiun Universitas Indonesia masih ramai oleh orang yang hendak masuk atau keluar stasiun, padahal waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Orang-orang yang hendak masuk stasiun, kebanyakan adalah para mahasiswa yang akan pulang ke arah Bogor atau Jakarta, sedangkan para pekerja kantoran yang tinggal di sekitar sini mendominasi pintu keluar. Seorang petugas perempuan yang berseragam putih dengan celana panjang biru tua masih terlihat semangat memberi sapaan kepada orang-orang yang baru masuk stasiun, dan seorang satpam sibuk mengarahkan orang-orang yang mau keluar agar tidak menumpuk, karena aku lihat kereta ke arah Bogor baru saja selesai menurunkan penumpang. Sejumlah perempuan terlihat sedang asyik bersenda-gurau di tempat pengisian daya ponsel dan sesekali mereka cekikikan setelah salah satu dari mereka menunjukkan layar ponselnya pada mereka. Ada dua orang satpam, salah satunya ada di sisi seberang, yang sigap menjaga pintu penyeberangan orang. Mereka terlihat memegangi ujung rantai yang digunakan untuk menutup penyeberangan ketika ada kereta yang melintas. Di peron arah Jakarta, ada instalasi menarik dengan ungu sebagai warna utamanya yang digunakan oleh beberapa mahasiswi untuk berswafoto malam ini. Mungkin saat siang hari, lebih banyak orang yang memanfaatkan instalasi itu.

Terdengar suara lelaki dari pengeras suara stasiun yang memberikan informasi bahwa kereta yang akan kutumpangi tiba beberapa saat lagi. Aku pun berpamitan dengan temanku, karena ia menunggu kereta di peron arah Bogor, sedangkan aku harus menyeberang rel dengan agak tergesa karena kereta arah Jakarta adalah yang terakhir pada malam ini. Ternyata masih banyak orang yang mau ke arah Jakarta. Kurasa mereka memang sengaja mengincar kereta terakhir supaya bisa lebih nyaman menikmati perjalanan dengan kereta yang agak kosong. Ternyata bukan hanya aku saja yang berpikiran seperti itu.

Tidak lama kemudian, terlihat pancaran cahaya yang sangat terang dari arah selatan yang diiringi dengan suara lelaki yang memberitahu dari pengeras suara bahwa kereta terakhir ke arah Jakarta akan segera tiba. Orang-orang yang sebelumnya terlihat lelah menanti, kini bersemangat menyabut kedatangan kereta. Lelaki itu juga memberi arahan dari pengeras suara kepada para penumpang agar mereka tidak melebihi garis kuning yang ada di lantai peron. Namun, beberapa orang masih saja ada yang abai terhadap arahan tersebut, mungkin sudah tidak sabar ingin menaiki kereta yang telah lama dinantikan. Pancaran cahaya tadi, kini semakin terang, dan sumber cahaya itu sudah terlihat jelas, bagian depan kereta rel listrik yang khas dengan warna merah dan kuning seolah-olah berderap gagah memimpin pasukan ular besi demi mengantar orang-orang ke tujuannya masing-masing.

Kereta yang dinantikan akhirnya berhenti dan membuka pintunya. Udara dingin dari dalam kereta menyeruak keluar sesaat setelah pintu kereta terbuka. Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam kereta, bersamaan dengan orang-orang yang ikut menantikan sedari tadi di peron. Suasana di dalam kereta memang tidak ramai, tetapi tidak ada kursi kosong sehingga aku memutuskan untuk bersandar di dekat pintu, yang tidak lama kemudian tertutup. Aku mulai memasang lagu di ponselku dan mendengarkannya melalui headset. Di dalam kereta, orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada sepasang mahasiswa yang sedang berbincang entah apa, kadang yang perempuan menepuk lengan lelakinya sambil tertawa kecil. Ada juga seorang ibu paruh baya yang tampak kelelahan sehingga terlelap dengan posisi kepala tersandar ke jendela. Di sebelahnya ada seorang pemuda yang tampak risi dengan ibu itu karena sesekali bahunya menjadi sandaran kepala si ibu. Aku melihat seorang bapak tua di kursi dekat sambungan kereta, menahan kantuk sambil menjaga posisi cucunya yang sedang tidur pulas di pangkuan bapak tua itu. Sepertinya mereka baru pulang entah dari mana.

Pintu kereta terbuka dan menutup setiap berhenti di stasiun, melepas dan menyambut orang-orang yang silih berganti ke dalam kereta. Seorang kakek yang baru masuk ke dalam kereta terlihat menyapu pandangannya ke sekeliling, mencari kursi kosong. Pemuda yang duduk di sebelah ibu yang tertidur tadi, dengan sigap berdiri dan memberikan kursinya kepada kakek itu. Si ibu yang terkejut karena gerakan pemuda itu, terbangun lalu membetulkan posisi duduknya. Inilah yang membuat aku senang menggunakan kereta saat aku bepergian. Aku bisa melihat berbagai macam orang dengan keunikannya masing-masing.

Perjalananku masih cukup jauh, aku memutuskan untuk menghanyutkan diri dalam alunan lagu yang kuputar dari ponselku. Kusandarkan kepalaku ke dekat jendela di pintu kereta agar bisa melihat pemandangan di luar. Memang terlihat agak gelap, tetapi setidaknya aku bisa melihat kendaraan yang masih lalu-lalang di malam yang semakin larut. Mobil-mobil terlihat mengantre di pintu perlintasan kereta, sementara motor-motor meliuk-liuk di antara mobil yang mengantre supaya bisa menjadi yang terdepan. Kota ini memang seolah-olah tidak pernah tidur.

Tanpa terasa, kereta yang kunaiki tiba di stasiun Tebet. Aku harus segera turun dan bergegas keluar stasiun untuk melanjutkan perjalanan dengan bus. Banyak orang yang juga mengantre menunggu pintu kereta terbuka, termasuk pemuda yang memberikan tempat duduknya untuk kakek tadi. Aku menyempatkan diri melihat ke arah bapak tua yang memangku cucunya. Kini mereka berdua sudah terlelap. Kuharap mereka sampai ke tujuan dengan selamat.

Kereta akhirnya berhenti di stasiun Tebet. Kini semakin banyak orang yang mengantre untuk keluar dari kereta. Pintu kereta terbuka, dan orang-orang berduyun-duyun keluar dari kereta, termasuk di antaranya adalah aku. Kereta yang tadinya ramai, kini terlihat jauh lebih lengang. Aku mempercepat langkahku ke arah pintu keluar stasiun, berharap bus yang akan kutumpangi masih setia menunggu penumpang yang pulang terlalu larut. Namun, sepertinya tidak untuk malam ini. Perasaanku mulai tidak enak setelah aku berhasil keluar dari stasiun. Tempat biasa bus itu menunggu penumpang kini sudah sepi, hanya terlihat beberapa petugas bus yag sedang mendata laporan perjalanan hari ini. Aku berjalan ragu menghampiri mereka dan berharap masih ada bus terakhir yang masih akan diberangkatkan.

“Bus terakhir baru saja berangkat, mas,” kata salah seorang petugas itu. Aku hanya bisa pasrah menerima kenyataan bahwa aku harus menyisihkan 20.000 Rupiah untuk ongkos ojek online. Setidaknya, malam ini aku masih bisa pulang.

Ditulis oleh:

Angga Hardy